Seiring munculnya pandemi Covid-19 di Indonesia pada 2 Maret 2020 lalu, bermacam mitos lahir, terutama mitos tentang cara melindungi diri dari wabah tersebut. Mitos pertama adalah telur rebus, sebagai makanan untuk mencegah diri terpapar Covid-19, yang dipercaya sebagian masyarakat Indonesia, hingga rela merebus telur di tengah malam buta. Kedua, mitos berjemur di bawah sinar matahari, dengan tujuan untuk mematikan virus. Mitos yang satu ini mungkin lebih tepat disebut salah kaprah, karena nyatanya, masyarakat dianjurkan untuk berjemur pada jam tertentu, untuk meningkatkan kekebalan tubuh, dengan asupan vitamin E dari sinar ultraviolet B, yang dihasilkan oleh matahari. Ketiga, mitos soal virus Corona (SARS Cov-2) yan tidak mampu hidup di iklim tropis. Mitos ini dihembuskan oleh salah seorang pejabat teras di negeri ini, dan nyatanya, pada 2 Maret 2020, kasus positif Covid-19 pertama muncul di Indonesia.
Masih banyak mitos lainnya yang berkembang, seiring dengan berkembangnya pandemi ini. Mitos sendiri adalah ketidakmampuan untuk menelaah fenomena yang terjadi di sekitar, yang menggambarkan keadaan sosial dan kultural masyarakatnya. Mitos-mitos yang lahir di sekitar pandemi Covid-19 ini, adalah bukti masyarakat kita belum melek dengan ilmu pengetahuan. Parahnya, indikasi belum melek ini, juga menyasar masyarakat kelas menengah ke atas, yang seharusnya sudah melek, karena mengenyam pendidikan tinggi.
Lantas, apa yang terjadi? Mengapa masyarakat kelas menengah ke atas kita yang telah mengenyam pendidikan tinggi, juga percaya mitos, hingga gampang termakan hoaks? Jawabannya, karena kultur kita memang masih lekat dengan hal-hal yang menimbulkan pemitosan. Secara kultural, masyarakat cenderung mencerna informasi dan menghubungkannya dengan aspek-aspek kultural, yang cenderung mengarah ke klenik, sebagai bagian dari proses problem solving-nya.
Jadi, kalau ada yang menyebut masyarakat Indonesia telah tercerabut dari akar budayanya, saya masih meragukan hipotesis tersebut. Mengapa? Karena sebagian masyarakat kita, masih mencerna informasi menggunakan aspek kultural, bukan aspek nalar dan ilmu pengetahuan.
Sistem pendidikan kita belum membebaskan masyarakat kita dari cara berpikir mitologis, seperti yang dikatakan Tan Malaka di dalam Madilog, masyarakat kita tidak akan merdeka, jika masih berciri feodal. Ciri masyarakat feodal, salah satunya adalah masih berpikir mitologis dan meyakini kultus takhayul. Salah satu indikasi bahwa kita masih feodal, adalah menganggap sepele kajian sains. Berkaca dari langkah penanganan Covid-19 oleh pemerintah, yang menurut sebagian kalangan, tidak berperspektif ilmu pengetahuan (sains).
Jurnalis Kompas, Ahmad Arif, dalam Kompas edisi Rabu (15/4/2020), menerbitkan sebuah catatan, tentang bagaimana kebijakan penanggulangan Covid-19 oleh pemerintah, yang dinilai cenderung antisains, dengan cenderung meremehkan resiko yang ada. Dalam catatan tersebut, Ahmad Arif juga menyoal tentang Amerika Serikat, sebagai Negara dengan perkembangan ilmu pengetahuan (sains) yang maju, namun kewalahan menanggulangi penyebaran Covid-19, karena watak pemimpinnya yang cenderung antisains dan malah memicu lahirnya Xenophobia (ketidaksukaan atau ketakutan terhadap orang-orang dari negara lain, atau yang dianggap asing), yang melahirkan berbagai teori konspirasi seputar Covid-19.
Fenomena antisains dalam menghadapi pandemi ini, nampaknya juga setali tiga uang dengan apa yang terjadi di negeri ini. Mulai dari menganggap remeh resiko, pernyataan-pernyataan mitologis dari pejabat negara soal Covid-19, hingga menjalar ke bebalnya sebagian masyarakat dalam menanggapi pandemi ini. Kebebalan berawal dari ketidaktahuan. Ketidaktahuan berawal dari miskinnya informasi yang benar dan edukatif. Miskinnya informasi yang benar dan edukatif, muncul dari kurangnya pemahaman akan resiko. Kurangnya pemahaman akan resiko, muncul dari keseharian kita yang kurang literat, sehingga terkesan anti ilmu pengetahuan.
Kita seakan tidak belajar dari sejarah pandemi di masa lalu. Ravando, kandidat doktor di Jurusan Sejarah University of Melbourne, Australia, yang menulis opini di Kompas dengan judul Belajar Dari Pandemi Flu Spanyol 1918 menyebut, pemerintah Hindia Belanda seperti bergeming atau setidaknya berupaya mengantisipasi serangan virus tersebut. Ada upaya dari pemerintah kolonial untuk menunjukkan kepada dunia bahwa situasi di koloninya baik-baik saja. Ketika akhirnya kasus Flu Spanyol mulai merebak di Hindia, pemerintah pun mendadak kelimpungan untuk mengatasinya. Kesalahan diagnosa kerap terjadi.
Ravando menulis, dalam satu kasus, pemerintah kolonial bahkan menginstruksikan kepada Burgerlijken Geneeskundigen Dienst (Dinas Kesehatan Hindia Belanda) untuk mengadakan vaksin kolera besar-besaran. Pemerintah mengira gejala Flu Spanyol tersebut mirip dengan penyakit kolera yang saat itu kebetulan juga tengah merebak di Hindia. Imbasnya, tindakan tersebut justru semakin memperparah situasi. Belum lagi dokter-dokter pemerintah yang berupaya meyakinkan masyarakat bahwa Flu Spanyol ini tidak seberbahaya influenza biasa. Ironisnya, pernyataan tersebut kemudian dikutip oleh berbagai koran dan dijadikan pembenaran bahwa virus Flu Spanyol ini tidak berbahaya.
Ketika serangan virus ini mencapai puncaknya antara bulan November-Desember 1918, beberapa pihak juga memanfaatkan situasi untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Banyak dokter yang menaikkan tarifnya hingga berkali-kali lipat. Pembuat peti mati hanya menerima pesanan peti mati ukuran besar karena keuntungan yang didapat jauh lebih besar, itu pun setelah mereka menaikkan harganya hingga berkali-kali lipat. Harga beras melambung tinggi yang menyebabkan kelaparan di mana-mana, dan masih banyak kasus lainnya yang membuat hati miris.
Respons masyarakat pun cenderung beragam. Banyak dari mereka yang menganggap pandemi tersebut sebagai ‘kutukan’ atau ‘hukuman’ dari Sang Pencipta. Upacara tolak bala dan berbagai ritual keagamaan pun dilakukan di berbagai daerah, yang malah berkontribusi dalam mempercepat penyebaran virus tersebut.
Sementara itu di rapat Volksraad (Dewan Rakyat), kasus Flu Spanyol ini tidak pernah menjadi pokok bahasan utama. Tercatat hanya Dr. Abdul Rivai saja yang bersuara lantang, mengkritik lambatnya respons pemerintah dalam menangani pandemi tersebut. Pemerintah memang kemudian bereaksi dengan membentuk Influenza Commissie dan menerbitkan dua buku (melalui Balai Pustaka) tentang penangkalan dan penanganan Flu Spanyol ini. Namun tindakan tersebut baru diambil ketika pandemi tersebut mulai hilang. Jutaan penduduk pun sudah telanjur menjadi korban.
Apa yang ditulis oleh Ravando ini, seharusnya menjadi pelajaran bagi kita, bahwa kesalahan yang sama tidak boleh kita ulangi, yakni meremehkan resiko dari sebuah pandemi. Upaya untuk terlihat baik-baik saja, justru makin menunjukkan, bahwa kita sedang tidak baik-baik saja. Masyarakat dibuai dengan informasi bahwa kita baik-baik saja, padahal ada sebuah fenomena gunung es di depan mata menanti kita. Masyarakat terkesan dibiarkan dalam ketidaktahuan dan keterbatasan aksesnya akan informasi yang benar dan edukatif, terkait pandemi.
Filsuf psikoanalitik berkebangsaan Slovenia, Slavoj Žižek, dalam pengantar bukunya, Pandemic! Covid-19 Shakes the World, menyebut, Hegel menulis bahwa satu-satunya hal yang dapat kita pelajari dari sejarah, adalah bahwa kita tidak belajar apa pun dari sejarah. Slavoj dalam pengantar bukunya yang rilis di tengah pandemi Covid-19 tersebut, ragu jika epidemi akan membuat kita lebih bijaksana.
Dia menulis, satu-satunya hal yang jelas adalah, virus tersebut akan menghancurkan fondasi kehidupan kita, yang menyebabkan tidak hanya jumlah penderitaan yang sangat besar, tetapi juga kekacauan ekonomi, yang mungkin lebih buruk daripada The Great Recession yang terjadi pada 2008 dan 1930-an. Ia menyebut, tidak ada yang kembali ke normal, karena menurutnya, definisi “normal” baru, harus dibangun di atas reruntuhan kehidupan lama kita, atau kita akan menemukan diri kita dalam barbarisme baru yang tanda-tandanya sudah jelas terlihat.
Hal itu kata dia, tidak akan cukup untuk mengobati epidemic, sebagai kecelakaan yang tidak menguntungkan, untuk menghilangkan konsekuensinya dan kembali ke berfungsinya cara lama dalam melakukan sesuatu, dengan mungkin beberapa penyesuaian, pada pengaturan perawatan kesehatan kita.
Slavoj mengunci pengantar tersebut dengan sebuah pertanyaan kunci, yakni apa yang salah dengan sistem kita, bahwa kita tidak siap oleh bencana, meskipun para ilmuwan memperingatkan kita tentang hal itu selama bertahun-tahun?
Jadi, kita tidak perlu heran, mengapa banyak mitos dan hoaks berseliweran, baik di dunia nyata maupun di dunia maya, terkait pandemi Covid-19 ini. Satu hal yang harus mulai kita lakukan, yakni mulai menerapkan budaya literat dalam diri sendiri, karena sesuai kata pepatah “tak kenal maka tak sayang” serta “malu bertanya sesat di jalan”.
Kemudian, sudah saatnya ‘menaruh rem’ pada jempol kita, untuk tidak lagi menambah kekhawatiran berlebihan di masyarakat terkait pandemi ini. Kita perlu mengingat, aspek psikologis setiap orang, berbeda dalam menanggapi informasi terkait pandemi ini. Membagikan informasi yang benar dan edukatif soal pandemi ini, akan mengurangi stgma kepada saudara-saudara kita sesame manusia, yang terpapar virus ini.***