TONDO, MERCUSUAR – Prof. Dr. Muhammad Khairil, S.Ag., M.Si, menjadi profesor termuda yang bergabung menjadi anggota Dewan Profesor Universitas Tadulako (Untad). Pria kelahiran Bantaeng, 23 Oktober 1979 itu, saat ini berusia 40 tahun 10 bulan 4 hari.
Prof. Muh. Khairil bergabung menjadi anggota Dewan Profesor Untad, dalam Rapat Senat Luar Biasa yang dilaksanakan dalam rangka memperingati Dies Natalis ke-39 Untad, yang dirangkaikan dengan penerimaan anggota Dewan Profesor Untad, Kamis (27/8/2020). Rapat senat luar biasa ini dilaksanakan di Aula Fakultas Kedokteran Untad.
Dekan fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Untad ini pada kesempatan tersebut, menyampaikan pidato pengukuhan jabatan guru besar, dengan judul Resolusi Komunikasi Dalam Tindak Penanganan Terorisme. Dalam pidatonya, Prof. Muh. Khairil menjelaskan, revolusi teknologi komunikasi telah membuat dunia semakin kecil, lantaran berhasil menjadikan seluruh peristiwa di seluruh penjuru dunia menjadi ruang publik (public space), yang bisa diakses tanpa dibatasi ruang dan waktu.
Dia melanjutkan, peristiwa 11 September 2001 yaitu runtuhnya menara kembar World Trade Center sebagai simbol yang melekat dari kebanggaan ekonomi Amerika Serikat, serta runtuhnya Pentagon yang menyimbolkan kekuatan Angkatan Militer mereka, telah mengubah pandangan dunia terhadap kekerasan teroristik dan merupakan tragedi kemanusiaan. Peristiwa tersebut dapat dengan mudah dan cepat diakses oleh pemberitaan media massa secara global, sebagai konsekuensi logis dari kemajuan teknologi informasi dan komunikasi.
Ketika era dunia telah menjadi era media massa, tindakan para teroris seperti mendapat kendaraan yang tepat. Terlebih ketika sebuah teror memang merupakan pesan yang harus tersebar luas secara massif. Kendaraan yang paling mampu mendistribusikan pesan itu kata Khairil adalah media massa.
Dalam perspektif media global, peristiwa teror dan pelakunya menjadi bahan berita yang menarik bagi media. Fenomena Al-Qaeda dan Usama Bin Laden misalnya kata Khairil, menjadi materi berita yang dieksploitasi oleh media di berbagai belahan dunia. Di Filipina, kelompok Abu Sayyaf dan pejuang Moro adalah dua kelompok yang menjadi sasaran pemberitaan terkait kegiatan terorisme. Bahkan, di Indonesia, kelompok Jamaah Islamiah dan Noordin M Top menjadi jualan berita bagi media. Terorisme dan media memiliki kaitan erat dalam hubungan simbiosis mutualisme, di mana terorisme membutuhkan publikasi dalam setiap aksinya dan media membutuhkan pemberitaan yang “seksi” untuk dieksploitasi dan menjadi komuditas menarik bagi para konsumen media.
Pemerintah kata Khairil, memerlukan kerjasama dan dukungan publik, termasuk media, dalam upaya meminimalkan ancaman teroris, serta untuk menangkap dan menghukum pelaku teror. Masyarakat menuntut agar pemerintah secepatnya menangkap pelaku teror dan menghukumnya, karena telah mengancam harmonitas kehidupan mereka. Sedangkan media massa membutuhkan kebebasan untuk bisa meliput aksi teror tersebut tanpa tekanan dari siapapun, termasuk pemerintah.
Menurutnya, perlu penyelidikan yang mendalam dan prosedural, yang benar sesuai hukum yang berlaku, barulah kemudian dilakukan eksekusi terhadap mereka yang telah divonis sebagai teroris. “Sama halnya ketika media massa memberikan informasi kepada para khalayak, tentunya harus memenuhi standar dan kaidah jurnalistik yang telah ditetapkan, sehingga masyarakat memperoleh informasi yang benar dan akurat,” jelasnya. JEF