Dorong Ketahanan Pangan Mandiri di Tengah Pandemi Covid-19

  • Whatsapp
PANGAN

OLEH: KARTINI NAINGGOLAN/MERCUSUAR

Namo, Lonca dan Lempelero adalah tiga desa di kecamatan Kulawi dan Kulawi Selatan, Kabupaten Sigi, Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng), yang ikut merasakan dampak dari pandemi Covid-19. Mereka bertahan hidup melalui penyediaan pangan yang mereka sebut “Pampa”.

Desa Namo, Lonca dan Lempelero di Kabupaten Sigi, memiliki kearifan lokal dalam penyediaan pangan yang mereka sebut dengan “Pampa”, yang bagi masyarakat Kulawi merupakan lahan berbentuk kebun yang cenderung datar dan tak jauh dari pemukiman, yang di dalamnya beragam jenis tanaman sayur, ubi-ubian, jagung, cabai, serta tanaman bumbu dapur lainnya.

Masyarakat Topo Moma dan Uma di Kecamatan Kulawi, secara umum memiliki sistem pengelolaan ruang hidup atau wilayah kelola, yang dianut secara turun temurun.

Pembagian zonasi pengelolaan ruang hidup ini juga memberikan ruang kepada kaum perempuan masyarakat Kulawi, di dalam pengelolaan pangan. Ruang atau wilayah kelola yang otoritas pengelolaannya diberikan pada perempuan.

Bagi perempuan Kulawi, Pampa memiliki berbagai nilai, yang di antaranya adalah nilai ekonomi. Pampa dianggap sebagai ‘supermarket sayuran’, karena segala sesuatu yang menjadi kebutuhan sayuran rumah tangga, dapat tersedia tanpa mengeluarkan biaya yang besar.

Perkumpulan IMUNITAS, KARSA Institute, dan SIKAP Institute yang tergabung dalam Konsorsium SIKLUS, dengan dukungan NTFP-EP Indonesia, melalui program Green Livelihoods Alliance di lansekap Lariang di wilayah Kabupaten Sigi, telah menyalurkan bantuan berupa ternak seperti kambing dan babi, benih anakan ikan nila dan ikan emas, serta bibit tanaman palawija, untuk masyarakat di desa.

Direktur Non Timber Forest Product – Exchange Programme (NTFP-EP) Indonesia, Jusupta Tarigan mengatakan, dukungan bantuan tersebut untuk memperkuat masyarakat dari dampak Covid-19, dalam konteks ketahanan pangan, sebagai bentuk antisipasi dan mitigasi krisis pangan di masa akan datang.

Tak hanya itu kata dia, nilai sosial di lokasi Pampa, kaum perempuan dapat berinteraksi satu sama lain tanpa mengenal batasan status sosial. Di samping itu pula, memiliki nilai kemandirian, Pampa menjadi tempat atau media bagi kaum perempuan, untuk dapat membuktikan dan membentuk jati diri sebagai sosok – sosok yang tangguh dan mandiri.

Dahulu, ketika akan membuka sebuah lahan untuk Pampa, selalu dimulai dengan sebuah upacara adat yang dipimpin seorang yang disebut Topo Gane atau tetua adat, yang dianggap mampu berkomunikasi dengan Tope Hoi, sang penguasa alam semesta, sehingga Pampa pun memiliki nilai – nilai spiritual di dalamnya. Pengelolaan Pampa juga terdapat hal – hal yang menjadi pantangan atau Palia, yang tidak boleh dilanggar, semisal tidak boleh ada yang membawa rotan melewati lahan Pampa saat lahan dibuka. Hal – hal yang menjadi pantangan tersebut merupakan nilai – nilai kearifan lokal yang dipercaya, sehingga jika dilanggar, maka tanaman akan diserang hama atau hasil tanaman bisa menjadi rusak dan busuk.

Baca Juga