Dua Kura-kura Endemik Sulawesi Terancam Punah

FOTO KURAKURA

 PALU, MERCUSUAR – Tidak banyak yang tahu, Pulau Sulawesi memiliki kura-kura endemik yang terancam punah, yakni kura-kura gunung (Indotestudo forstenii) dan kura-kura daun (Leucochephalon Yuwonoi). Perburuan dan perdagangan ilegal membuat jumlah binatang ini diprediksi akan semakin kecil terutama untuk tahun-tahun mendatang.

Hal itu diungkapkan peneliti hewan endemik Universitas Tadulako (Untad), Dr Ir Fadly Y. Tantu, Minggu (13/9/2020). Ia beserta rekan peneliti, Dr. Ir. Jusri Nilawati, M.Sc melakukan studi jangka panjang sejak tahun 2015, untuk mempelajari populasi dan biokologi endemik dengan tujuan konservasi dan upaya domestika (program penangkaran).

Metode studi dilakukan dengan survei eksplorsi, wawancara pemburu, pemasok dan penangkar. Hasil studi mereka menunjukan, kedua spesies itu terancam punah.

“Ancaman yang dihadapi karena hilangnya habitat dan perburuan oleh masyarakat dari luar kawasan, untuk perdagangan antar pulau,” ujar Fadly.

Ciri-ciri fisik kura-kura gunung dan kura-kura daun cukup berbeda. Kura-kura forsten dewasa berukuran 18-25 cm, berlempeng kerapas, berwarna kombinasi hitam dengan garis tebal kekuningan atau bervariasi dari karamel dengan bercak hitam, sedangkan kura-kura hutan berciri tempurung pipih berwarna coklat, sedangkan kepala jantan berwarna kuning, betina berwana coklat.

Kura-kura jenis tersebut disebut endemik karena hanya ditemukan di Indonesia, tepatnya di Pulau Sulawesi Lembah Palu dan perbatasan antara Sulawesi Tengah dan Gorontalo.

Namun karena sering menjadi incaran, aktivitas pemburuan yang semakin meningkat, menyebabkan populasi kura-kura ini terus menurun sebab habitatnya terganggu oleh pembukaan lahan untuk pertanian, perumahan dan yang paling utama pemburuan kura-kura untuk diekspor.

“Meningkatnya ekspor kura-kura akan merugikan kita karena populasi di alam terus turun dan bisa punah,”ungkap dia.

Kini Fadly membangun penangkaran sendiri di rumah pribadinya, khusus untuk kedua hewan endemik ini, demi mendukung kelestarian kura-kura tersebut.

Tahun 2019-2020, keduanya berhasil mengembangbiakannya dan berhasil menetaskan tiga telur kura-kura. Sebelumnya di tahun  2017-2018, keduanya telah berhasil mengembangbiakannya, tapi di tahun itu terjadi gempa. Beberapa indukan dan anak-anaknya mati dan ada yang lepas.

Saat pengembangbiakan untuk pertama kali tersebut dilakukan bersama penangkar UD Lestari di Biromaru. Tetapi saat gempa, fasilitas penangkaran rusak dan kura-kura lepas membuat penangkaran tutup, sehingga aktivitas penangkaran dilakukan di kediaman Fadly.

“Kami mencoba dulu di rumah. Beberapa kali kami melakukan pelepasliaran kura-kura ini,”jelasnya.

Keberadaan kura-kura darat Sulawesi ini, turut menjadi perhatian pegiat konservasi di Amerika, seperti Cristine light, Koordinator Program Konservasi Chelonian Sulawesi dan Cris Hagen, Direktur Pengelolaan Hewan Pusat dan Kelangsungan Hidup Penyu TSA. Mereka sengaja datang ke Kota Palu untuk melakukan survei kura-kura secara langsung di alam liar. Mereka dibantu rekan-rekan Untad termaksud Fadly dan Jusri Nilawati, mahasiswa dan beberapa masyarakat lokal. Beberapa aktivitas, keduanya bisa dilihat di laman media sosial facebook Sulawesi Chelonian Conservation. INT

Pos terkait