PALU, MERCUSUAR – “Saya benar-benar merasa sedih melihat warga Kalimago ini terus-terusan menjadi korban. Perlu teman-teman jurnalis tahu bahwa Kalimago ini merupakan perkampungan baru, menjadi perkampungan karena dihuni oleh pengungsi dari Poso Kota dan Poso Pesisir pada tahun 2003 dulu, yang dihuni mayoritas Suku Toraja dan Bada. Mereka terus menerus menjadi korban kekerasan saat ini. Bahkan dibunuh dengan cara yang sangat keji oleh kelompok Teroris Mujahidin Indonesia Timur (MIT),” demikian Edmond Leonardo Siahaan, Advokat dan Mantan Koordinator KontraS Sulawesi, menanggapi peristiwa tewasnya 4 orang warga di Desa Kalimago, Kecamatan Lore Timur, Kabupaten Poso, Selasa (11/5/2021) pagi.
Edmond dalam rilis persnya yang diterima redaksi, Kamis (12/5/2021) malam, secara pribadi menyatakan mengutuk keras aksi-aksi terorisme MIT, yang belakangan ini selalu terjadi di Lembah Napu, setelah sebelumnya terjadi di Dusun Tokelemo, Desa Lembantongoa, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, Jumat, 27 November 2020 lalu.
Menurutnya, seharusnya korban-korban aksi terorisme dari MIT ini bisa diminimalisir, setelah dideklarasikannya Satgas Tinombala yang berubah nama menjadi Satgas Madago Raya. Dirinya berharap Satgas Madago Raya ini lebih baik dibanding Satgas Tinombala secara kualitas operasinya, seperti arti kata Madago yang artinya: baik hati.
“Ternyata saya terlalu berharap banyak, karena kembali 4 orang warga sipil kembali menjadi korban jiwa,” ujarnya.
Peristiwa ini menimbulkan sejumlah pertanyaan dalam benak Edmond. Pertama, jarak dari Desa Kalimago ke perkebunan hanya kurang lebih 3 kilometer, di mana di belakang perkebunan warga ini, adalah wilayah gunung biru yang menjadi wilayah operasi kelompok teroris MIT, yang juga tembus ke Tambarana dan Kalora.
“Pertanyaannya adalah, kenapa tidak pernah dibangun Posko Pengamanan di Desa Kalimago ini sejak dulu sampai saat ini menjadi Satgas Madago Raya? Perlu diketahui bahwa di Desa Kalimago ini juga sudah ada obyek Wisata Air Panas yang ramai dikunjungi warga Lembah Napu dan sekitarnya. Tapi tidak pernah dipikirkan untuk membangun pos pengamanan di Desa Kalimago. Hal lainnya adalah jarak dari Desa Kalimago ke Tamadue hanya kurang lebih 6 sampai 7 kilometer, yang dipenuhi perumahan warga, sehingga juga rentan juga untuk diserang kelompok Teroris MIT, karena Desa Tamadue berada tepat di Lembah Gunung Biru,” tanya Edmond.
Kedua, dengan meningkatnya aksi terorisme MIT di Lembah Napu dalam beberapa tahun belakangan ini, seharusnya pos-pos pengamanan yang ada tetap dipertahankan, seperti yang ada di perempatan Watutau di daerah padang. Harusnya pos tersebut dipertahankan, bila perlu dibangun baru, bukan dibongkar, yang mengakibatkan tidak ada pos pengamanan yang dekat dengan pemukiman atau kebun warga.
Ketiga, kenapa Pos Satgas yang dulu ada di Desa Sangginora dan Desa Tangkura, Kecamatan Poso Pesisir Selatan dalam keadaan kosong tanggal 7 sampai 9 Mei 2020?
“Saya mendapatkan informasi dari keluarga saya yang datang ke acara duka ke Napu dari Poso. Bukankah ini jalur transportasi yang harus mendapat pengamanan ketat. Karena seperti kita ketahui dulu, Pimpinan MIT, Ali Kalora ikut menghadang rombongan pegawai Dinas Kesehatan (Dinkes) Poso di jalan Trans Sulawesi antara daerah Hae dan Sangginora, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, pada Sabtu, 8 Agustus 2020,” ujarnya.
Oleh karena itu, dirinya mendesak beberapa hal harus segera dilakukan. Pertama, DPRD Provinsi Sulawesi Tengah melakukan dengar pendapat atau hearing dengan Satgas Madago Raya, bila perlu mengevaluasi model pengamanannya dan pempatan aparat atau pos pengamanan. Karena sampai saat ini korban jiwa terus berjatuhan dengan cara dibunuh secara keji, dipenggal, dibakar dan berbagai bentuk kekejian lainnya.
Kedua, harus dibangun pos pengamanan di Desa Kalimago dan beberapa desa lainnya di Lembah Napu, karena belakangan ini serangan kelompok Teroris MIT ditujukan ke Lembah Napu dan sekitarnya, terutama yang dekat dengan gunung biru seperti Desa Kalimago dan Tamadue. */JEF