Empat Narasumber Bedah Paradoks Ekonomi Sulteng

ekonomi, PWI

PALU, MERCUSUAR — Empat pembicara utama dalam Bincang Akhir Tahun Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sulawesi Tengah, masing-masing Guru Besar Ekonomi Universitas Tadulako (Untad), Prof. Moh. Ahlis Djirimu, Ph.D; Deputi Kepala Perwakilan Bank Indonesia (BI) Sulawesi Tengah, Miftachul Choir; perwakilan Dinas Penanaman Modal dan PTSP Sulteng, Teguh Ananta; serta Ketua DPD APINDO Sulteng, Wijaya Chandra, secara terbuka mengurai ketidaksinkronan antara pertumbuhan ekonomi Sulteng yang tinggi dengan kenyataan sosial-ekonomi yang masih stagnan.

Diskusi berlangsung tajam, menyoroti bagaimana pertumbuhan Sulteng selama lima tahun terakhir cenderung hanya “menggema di angka”, tetapi tidak sepenuhnya menetes ke masyarakat.

Kegiatan yang digelar di Parama Su Hotel, Kamis (27/11/2025), mengangkat tema “Mengurai Benang Kusut Investasi, Pertumbuhan Ekonomi, dan Kemiskinan di Sulawesi Tengah: Mewujudkan Pertumbuhan Ekonomi yang Inklusif dan Berkeadilan”.

Deputi Kepala BI Sulteng, Miftachul Choir, memulai dengan paparan makro yang memperlihatkan ironi ekonomi Sulteng. Pada triwulan III-2025, pertumbuhan mencapai 7,79 persen, tinggi secara nasional, namun struktur penggeraknya tetap didominasi industri nikel yang padat modal dan rentan terhadap gejolak global.

Menurutnya, laju pertumbuhan tersebut tidak otomatis menciptakan pemerataan. Administrasi pemerintahan justru terkontraksi 8,82 persen, menunjukkan lemahnya stimulus dari belanja daerah. Bank Indonesia juga menyoroti tiga risiko besar yang mengancam keberlanjutan ekonomi Sulteng, yakni ketergantungan eksternal, normalisasi pertumbuhan yang bisa mendadak melambat, dan terbatasnya efek sebar ekonomi sektor nikel ke sektor lain.

“Kita tidak bisa bertahan dengan hanya satu mesin pertumbuhan yang padat modal. Sulteng membutuhkan sumber pertumbuhan baru yang mampu menyerap tenaga kerja dan memproduksi pemerataan,” tegas Miftachul.

BI mengidentifikasi sejumlah komoditas unggulan yang potensial sebagai katalis ekonomi baru, seperti kakao, jagung, rumput laut, dan pariwisata. Namun, seluruh sektor ini membutuhkan intervensi kebijakan yang konsisten, dukungan fiskal, dan penguatan ekosistem pelaku usaha.

Guru Besar FEB Untad, Prof. Moh. Ahlis Djirimu, menempatkan diskusi pada kerangka yang lebih keras, yakni paradoks antara tingginya investasi dan meningkatnya angka ketimpangan serta inefisiensi fiskal. Ia memperlihatkan bagaimana kabupaten-kabupaten dengan lonjakan aktivitas pertambangan justru menghadapi enclave economy, yakni ekonomi berkapasitas tinggi tetapi terputus dari rakyat di lapisan bawah.

“Ekonomi Sulteng tumbuh bukan karena masyarakatnya produktif, tetapi karena mesin besar industri nikel berputar. Itu bukan pertumbuhan yang sehat. Itu adalah pertumbuhan yang menyisakan luka sosial,” ujar Ahlis dalam paparannya yang disertai data regional.

Ahlis menegaskan, penurunan kemiskinan yang terlihat dalam statistik, tak menggambarkan kondisi riil kesejahteraan masyarakat. Sebagian besar penurunan lebih disebabkan naiknya garis kemiskinan nominal dan inflasi kebutuhan pokok, bukan peningkatan pendapatan.

Ia juga menilai, kualitas belanja daerah tidak mendukung pengurangan kemiskinan. Ketimpangan kualitas infrastruktur, buruknya alokasi anggaran, dan tidak meratanya peluang kerja membuat manfaat pertumbuhan hanya tertumpuk pada kelompok tertentu.

“Kalau data pertumbuhan tidak disertai data pemerataan, itu bukan analisis ekonomi. Itu sekadar laporan cuaca,” tegasnya.

Perwakilan DPMPTSP Sulteng, Teguh Ananta mengakui, struktur investasi Sulteng memang bermasalah. Investasi yang masuk sepanjang 2022 – September 2025, sebagian besar bersifat padat modal. Rata-rata, dibutuhkan investasi Rp3,25 miliar untuk menciptakan satu lapangan kerja baru.

“Kita harus mengubah orientasi dari mengejar angka investasi menjadi mengejar kualitas investasi,” kata Teguh.

Ia mengusulkan strategi baru, antara lain kemitraan wajib antara investor besar dan pelaku usaha daerah; diversifikasi sektor investasi ke pertanian, perkebunan, dan industri pangan; peningkatan kapasitas SDM lokal agar fungsi teknis dan manajerial tidak lagi didominasi tenaga kerja luar daerah.

DPMPTSP juga memperingatkan risiko jangka panjang apabila struktur investasi tidak berubah: ketergantungan terhadap nikel, tumbuhnya enclave economy, inflasi yang dipicu daya beli pekerja industri, dan terpinggirkannya UMKM lokal.

Ketua APINDO Sulteng, Wijaya Chandra, mengambil sudut pandang dunia usaha. Menurutnya, potensi hilirisasi Sulteng luar biasa besar, tetapi stagnan karena kurangnya dukungan pemerintah dan minimnya kesiapan SDM. Hilirisasi kelapa, misalnya produksi susu kelapa, dinilainya sebagai contoh jelas peluang hilir yang tak dikerjakan secara serius.

“Hulu kita hebat, tapi hilirnya berjalan sendiri-sendiri tanpa pendampingan. Bagaimana mau berkembang jika semuanya dibiarkan sporadis?,” ujarnya.

Ia juga menyoroti realitas SDM, di mana banyak lulusan perguruan tinggi tidak siap kerja karena pendidikan yang terlalu teoritis. APINDO menilai, kebutuhan dunia praktik tidak terpenuhi oleh output pendidikan formal yang ada saat ini.

Regulasi dan birokrasi perizinan ikut dianggap sebagai hambatan signifikan. Menurut Wijaya, pelaku usaha masih menghadapi perizinan yang lambat, aturan yang berubah-ubah, dan lemahnya komitmen pemerintah dalam menciptakan iklim usaha yang sehat.

APINDO menargetkan pertumbuhan ekonomi Sulteng mencapai dua digit, tetapi Wijaya menegaskan, itu hanya mungkin jika pengembangan SDM, konsolidasi industri hilir, dan kemitraan dengan brand berkelanjutan benar-benar dijalankan.

“Membuka usaha tidak mudah, tapi lebih sulit lagi jika ekosistemnya tidak mendukung,” tegasnya.

Diskusi empat arah ini menegaskan satu hal, Sulteng memang tumbuh, tetapi manfaatnya belum dirasakan secara merata. Pertumbuhan ekonomi yang bertumpu pada nikel telah mendorong angka-angka makro, namun masih jauh dari definisi pertumbuhan yang inklusif.

Menurut mereka, yang hilang dari Sulteng saat ini bukan potensi, tetapi penyelarasan antara investasi, hilirisasi, SDM, dan pemerataan. Seluruh narasumber sepakat, tanpa perbaikan menyeluruh, dari tata kelola investasi hingga penguatan kapasitas manusia, pertumbuhan Sulteng berpotensi menjadi pertumbuhan artifisial, yang hanya menguntungkan segelintir aktor ekonomi.

Kegiatan ini dihadiri puluhan peserta dari unsur pemerintah, akademisi, jurnalis, dan pelaku usaha. JEF

Pos terkait