PALU, MERCUSUAR – Gempa yang terjadi di Kota Palu, Kabupaten Donggala, dan Kabupaten Sigi pada Jumat (28/9/2018) petang, menyisakan tsunami dan likuefaksi.
Tsunami atau gelombang laut setinggi hingga enam meter itu menghantam kawasan pesisir teluk Palu, antara lain Kelurahan Pantoloan, Mamboro, Tondo, Talise, Besusu Barat, Lere, Tipo, Watusampu, dan Buluri. Ribuan jiwa menjadi korban.
Sementara likuefaksi dapat dilihat pada wilayah pemukiman warga di Kelurahan Balaroa, Palu Barat, dan Kelurahan Petobo, Palu Selatan. Disebutkan ribuan jiwa meninggal akibat likuefaksi di dua kelurahan ini.
Dosen fisika pada Fakultas Matematika dan IPA Universitas Tadulako, Drs. Abdullah, MT mengatakan secara sederhana likueifaksi adalah terjadinya gangguan terhadap lapisan batuan/tanah berpori dan jenuh air ketika terjadi gempa bumi sehingga lapisan tersebut dan permukaan tanah di atasnya mengalami perubahan bentuk.
“Lapisan batuan atau tanah itu tiada lain adalah lapisan aquifer, yakni lapisan yang dapat menyimpan air tanah dan atau yang dapat dilewati oleh fluida atau air tanah dan atau gas,” jelas Abdullah kepada Mercusuar, Rabu (16/10/2018).
Dikatakan, likueifaksi akibat gempa Palu pada 28 September 2018 bersifat regional, sedangkan likuefaksi lainnya di beberapa tempat bersifat lokal atau setempat.
“Contoh likuefaksi lokal adalah likuefaksi akibat gempa Nigata Jepang tahun 1964. Hanya lapisan batuan atau tanah di bawah gedung yang mengalami perubahan bentuk dan gedung menjadi miring,” tambahnya.
AKTAL LAIN
Mantan Ketua Peneliti Pusat Mitigasi Bencana Alam dan Kebumian Untad ini juga menjelaskan fakta alam lain yang disebabkan oleh gempa, Jumat, tiga pekan lalu, tidak semata-mata tsunami dan likuefaksi. Fakta tersebut adalah down-lift atau penurunan permukaan tanah secara cepat, di mana peristiwa ini juga menelan korban jiwa yang tidak sedikit.
Abdullah mencatat setidaknya ada tujuh lokasi yang mengalami down-lift. Pertama,
sebagian pantai di Kelurahan Buluri, Palu Barat, sehingga jarak antara jembatan Buluri dengan pantai menjadi semakin dekat. Kedua, sebagian pantai di Kelurahan Lere, Palu Barat, sehingga masjid terapung turun dan lantainya digenangi air laut. Ketiga,
sebagian pantai di Kelurahan Besusu Barat, Palu Timur, sehingga anjungan depan TVRI Sulteng hilang.
Keempat, sebagian pantai di Kelurahan Talise, Mantikulore, sehingga lokasi Anjungan Palu Nomoni hilang. Kelima, sebagian pantai di Kelurahan Mamboro, Palu Utara, di mana dua pohon kelapa seakan-akan tumbuh di laut.
Pengamat Kebencanaan Sulteng ini menambahkan, keenam, down-lift terjadi di muara sungai Palu, di mana pondasi tengah jembatan IV atau jembatan kuning ikut turun. Akibatnya jembatan tersebut patah menjadi dua.
terakhir, permukiman dekat pantai di Desa Tompe, Kecamatan Sirenja di Kabupaten Donggala, di mana pemukiman tersebut digenangi air laut. DAR