Oleh: Jefrianto (Wartawan Mercusuar)
Gema takbir masih berkumandang dari Masjid An Nur, Kelurahan Baiya, Kecamatan Tawaeli, Kota Palu,
Sabtu (22/4/2023). Ratusan orang berhamburan keluar dari masjid, tumpah ruah ke jalan, saling
bersalaman.
Tidak berselang lama, rumah-rumah warga dipenuhi keluarga dan kerabat yang datang bersilaturahmi.
Silaturahmi ini akrab dikenal dengan istilah “pasiar”.
Anak-anaklah yang paling bersemangat saat “pasiar”. Tuan rumah biasanya telah menyiapkan sejumlah
uang, baik pecahan Rp2.000 hingga pecahan Rp100.000 untuk dibagikan kepada anak-anak yang
datang “pasiar”.
Hagala adalah nama dari sejumlah uang yang dibagikan tersebut. Hagala dapat dimaknai sebagai
“hadiah Lebaran” yang ditujukan bagi anak-anak, maupun orang dewasa.
Hagala biasanya dibagikan saat momen hari Lebaran, namun dalam perkembangannya, Hagala kerap
dibagikan sebelum momen Lebaran tiba. Bentuknya tidak cuma uang, bisa berupa bahan kebutuhan
pokok, pakaian, kebutuhan hari raya seperti kue kering dan minuman, dan hal lainnya.
Istilah Hagala sendiri diyakini berasal dari bahasa Kaili. Namun dalam Kamus Bahasa Kaili Ledo yang
disusun oleh Donna Evans, kata Hagala tidak tercantum.
Dosen Antropologi Universitas Tadulako (Untad), Muh. Nasrun dalam Jurnal Antropologi Indonesia
mengatakan, Hagala identik dengan Saweran atau Bantingan bagi orang Jawa, Panynyoori bagi orang
Makassar, Passolo bagi orang Bugis, Terma Silehonlehon bagi orang Batak, dan Angpao bagi orang
Tionghoa.
Penulis menemukan, tradisi Hagala bukan hanya ada di Sulawesi Tengah. Masyarakat Nusa Tenggara
Barat (NTB), juga mengenal Hagala. Guru SD Negeri 13 Kolo Kota Bima, Purnama Disastra dalam tulisannya tentang Hagala mengatakan, tradisi Hagala itu sudah puluhan tahun lamanya di Bima. Belum ada penelitian, sejak kapan pastinya tradisi Hagala itu dimulai.
Hagala menurut pemahamannya adalah seorang yang berlebih harta memberi kepada yang kekurangan. Pemahaman itu berkembang sesuai dengan keadaan jaman, di mana Hagala selain dibagikan tetapi lebih ke arah ‘meminta’.
“Jadi, jangan heran kalau kamu berlebaran di Bima, ada kata-kata ‘Mbei Ja Hagala ni’. ‘Be Hagala Mada/
Nahu?’. ‘Ake, Hagala’,” jelasnya.
Penulis belum menemukan kapan pastinya tradisi Hagala mulai berkembang di Sulawesi Tengah dan
dari mana tradisi tersebut berasal. Namun, jika dilihat berdasarkan praktiknya, pembagian sejumlah
uang saat momen Lebaran kepada anak-anak dan orang dewasa yang bersilaturahmi ke rumah orang
yang merayakan Lebaran, telah terekam dalam catatan ahli bahasa berkebangsaan Belanda, Nicolaus
Adriani dan etnolog berkebangsaan Belanda, Albertus Christiaan Kruyt.
Keduanya mencatat hal tersebut dalam buku De Bare’e-sprekende Toradja’s van Midden-Celebes yang
dipublikasikan pada tahun 1912. Buku ini, salah satunya menuliskan pengamatan mereka terhadap apa
yang dilakukan masyarakat di selatan Teluk Tomini, dalam momen Ramadan dan Idulfitri.
Keduanya dalam buku ini menceritakan, Raja Todjo, Lariwoe (Lariwu), biasa memberikan uang kepada
setiap tamunya pada hari raya. Jumlahnya bervariasi, di mana 1 gulden untuk orang dewasa dan 0.25
hingga 0.50 gulden untuk anak-anak. Kunjungan ini dilakukan bersama selama dua atau tiga hari. Raja Lariwu sendiri diperkirakan memerintah antara 1816-1836. Berarti dapat diperkirakan, sejak awal abad
ke-19, tradisi membagikan uang kepada anak-anak dan orang dewasa oleh orang yang merayakan
Lebaran di wilayah Sulawesi Tengah sudah berlangsung sejak saat itu.
Terlepas dari kapan tradisi Hagala mulai dilakukan dan darimana tradisi ini berasal, Hagala menjadi
salah satu bagian yang tidak terpisahkan dari tradisi menyambut dan memeriahkan Lebaran di Sulawesi
Tengah. Penulis sendiri memaknai Hagala sebagai bentuk ucapan syukur dan sukacita bagi masyarakat
yang merayakan Lebaran.***