Oleh : Mohammad Sairin (Dosen Prodi Sejarah Peradaban Islam UIN Datokarama)
Sore itu langit mendung disertai gerimis menyelimuti Kota Palu. Alam seakan ikut menangisi kepergian sang ulama kharismatik, Sayyid Saggaf bin Muhammad bin Idrus bin Salim Aljufri atau lebih dikenal dengan nama Habib Saggaf Aljufri. Beliau wafat pada hari Selasa, 3 Agustus 2021/24 Dzulhijjah 1442 H pada pukul 15.50 di Rumah Sakit Alkhairaat dalam usia menjelang 84 tahun.
Almarhum Habib Saggaf adalah Ketua Utama Alkhairaat, organisasi Islam terbesar di Indonesia Timur yang berpusat di Palu. Beliau lahir di Pekalongan, Jawa Tengah pada 17 Agustus 1937, tanggal yang sama dengan HUT Republik Indonesia. Beliau adalah cucu Habib Idrus bin Salim Aljufri atau Guru Tua, sang pendiri Alkhairaat. Ayahnya Sayyid Muhammad Aljufri adalah Ketua Utama Alkhairaat (1970-1975) setelah Guru Tua wafat, sementara ibunya bernama Syarifah Ragwan binti Thalib Aljufri. Beliau adalah anak sulung dari tiga bersaudara kandung, adik-adiknya yaitu Sayyid Abdillah Aljufri dan Syarifah Sakinah Aljufri. Selain itu, ia memiliki tiga orang saudara seayah, yaitu Sayyid Alwi Aljufri, Sayyid Ali Aljufri dan Sayyid Shaleh Aljufri. Sementara itu dari tiga orang istrinya, beliau menurunkan tujuh orang anak dan sebelas orang cucu.
Habib Saggaf mula-mula bersekolah madrasah di Pekalongan pada tahun 1946. Semenjak tahun 1951, keluarganya pindah ke Palu untuk membantu kakeknya berdakwah menjalankan Alkhairaat yang telah memiliki madrasah di berbagai wilayah. Habib Saggaf lalu menyelesaikan pendidikan di Madrasah Mualimin Alkhairaat tahun 1955. Selain itu, ia juga mendapat pendidikan khusus dari kakeknya. Pada tahun 1959, Habib Saggaf mendapatkan beasiswa dari pemerintah untuk melanjutkan pendidikan di Universitas Al Azhar, Mesir mengambil Jurusan Syariah. Saat kuliah, Habib Saggaf ikut aktif menjadi anggota dan pengurus Perhimpunan Pelajar Indonesia di Mesir (1959-1963), yang anggotanya antara lain K.H. Abdurrahman Wahid (Gusdur) dan K.H. Quraish Shihab. Setelah menyelesaikan pendidikan jenjang sarjana tahun 1963, Habib Saggaf melanjutkan pendidikan ke jenjang magister di Universitas Al-Azhar hingga meraih gelar Master of Arts (M.A.) pada tahun 1966. Setelah itu, ia sempat pula mengikuti pendidikan Takhassus selama satu tahun.
Guru Tua nampaknya sedari awal telah mempersiapkan Habib Saggaf sebagai penerusnya di Alkhairaat. Walaupun masih sementara menempuh pendidikan di Mesir, Habib Saggaf telah ditunjuk sebagai Ketua Alkhairaat pada Muktamar II Alkhairaat di Ampana, 1963. Pada tahun 1967, setelah menyelesaikan pendidikannya di Mesir, Habib Saggaf pulang ke Palu. Kedatangannya disambut dengan meriah oleh sang kakek, para pejabat pemerintahan dan Abnaulkhairaat di Pelabuhan Donggala. Hanya dua minggu setelah tiba di Palu, ia langsung diajak oleh kakeknya untuk berkeliling mengunjungi madrasah dan cabang Alkhairaat di berbagai wilayah. Salah satu tujuannya untuk memperlihatkan bagaimana perkembangan Alkhairaat selama ia di Mesir. Selain itu, setelah kembali ke Palu tahun 1967, ia diangkat sebagai Rektor Perguruan Tinggi Islam Alkhairaat (PTIA) atau yang sekarang dikenal dengan nama Universitas Alkhairaat, jabatan yang ia emban hingga tahun 1980an.
Dua tahun setelah kepulangan Habib Saggaf ke Palu, Guru Tua wafat 22 Desember 1969, mewariskan Alkhairaat yang telah berkembang pesat. Pada Muktamar III Alkhairaat tahun 1970, Habib Muhammad bin Idrus bin Salim Aljufri, ayah Habib Saggaf diangkat sebagai Ketua Utama Alkhairaat menggantikan posisi Guru Tua, sementara Habib Saggaf menjabat sebagai Ketua Umum. Setelah ayahnya wafat tahun 1975, jabatan Ketua Utama Alkhairaat diserahkan kepada Habib Sagaf yang ia emban hingga beliau wafat.
Habib Saggaf banyak memberikan kontribusi bagi dunia pendidikan Sulawesi Tengah dan Indonesia Timur. Tidak lama setelah kembali dari Mesir, ia dipercayakan pula untuk menjabat Dekan Fakultas Ushuluddin IAIN Alauddin Cabang Palu sejak tahun 1969, ketika kampus tersebut baru berusia tiga tahun. Ia mengabdikan hidupnya sebagai dosen dan dekan hampir dua puluh tahun lamanya, tanpa pernah diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil. Pada tahun 1988, ia mengundurkan diri sebagai Dekan Fakultas Ushuluddin untuk lebih fokus mengurusi Alkhairaat. Ia telah meletakan pondasi awal untuk satu-satunya perguruan tinggi keagaman Islam negeri di Kota Palu, yang kini telah bertransformasi menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Datokarama. Selain itu, ia juga pernah menjabat Wakil Ketua Gerakan Usaha Pembaharuan Pendidikan Islam (GUPPI) Sulawesi Tengah tahun 1971-1977.
Habib Saggaf pernah aktif dalam dunia politik. Ia diangkat sebagai Anggota Dewan Pertimbangan Golkar Sulawesi Tengah, sejak tahun tahun 1971 hingga pada saat Pemilu 1997. Begitu pula dengan adik beliau, almarhum Habib Abdillah Aljufri yang pernah menjadi anggota DPRD Sulawesi Tengah mewakili Golkar. Dalam karir politiknya, Habib Saggaf terpilih sebagai anggota MPR Utusan Daerah Sulawesi Tengah periode 1992-1997 dan 1997-1999.
Sejak tahun 1992 beliau diangkat sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Propinsi Sulawesi Tengah menggantikan posisi K.H. Rustam Arsyad, murid Guru Tua yang wafat pada bulan April 1991. Habib Saggaf menjabat sebagai Ketua MUI Sulawesi Tengah selama tiga periode, hingga tahun 2013. Beliau dikenal sebagai ulama yang berpikiran moderat. Dalam ceramahnya ia seringkali menyampaikan agar jangan mudah mengkafirkan dan membid’ahkan orang lain. Ia juga menentang keras tindakan terorisme yang membawa label agama.
Dalam kapasitasnya sebagai seorang ulama dan guru, Habib Saggaf telah menghasilkan beberapa karya tulis berupa buku, seperti “Menjawab Masalah Umat” Jilid 1 dan 2 (terbit 2002) yang merupakan hasil kumpulan rubrik tanya jawab di Mingguan Alkhairaat. Ada juga buku “Al-Muntakhabaat Fi Al-Makhfuzhat (Kumpulan Mahfuzhat)”, jilid 1 (terbit 2007), jilid 2 (terbit 2008), dan jilid 3 (terbit 2008) serta Annasyid Madrasiyah (terbit 2011). Ada pula karya-karyanya lain masih berupa diktat, naskah ketikan maupun berupa manuskrip seperti “Ilmu al-Balaghah”, “Al-Majaaz wa al-Isti’arah, Ilm al-Ma’aaniy, “Fiqh al-Shiyam”, dan “Lughat al-Qur’an: Duruus fii al-Lughah al-‘Arabiyyah li al-Mubtadi’iin”. Ini semua adalah warisan ilmu dari almarhum.
Usai sudah perjalanan hidup ulama, guru dan panutan kita. Almarhum telah tiada, namun ia telah mewariskan ilmu, kebijaksanaan dan tauladan bagi kita semua. Semoga kita dapat meneladani dan meneruskan perjuangan almarhum. Alfatihah. ***