SIRANINDI, MERCUSUAR – Sejumlah rekomendasi berhasil dirumuskan dalam pelaksanaan rembuk bersama membahas Sejarah Tangga Banggo dan Siranindi, yang dilaksanakan oleh panitia Tangga Banggo Siranindi Festival, Minggu (9/9/2018). Salah satu rekomendasi di antaranya adalah merubah nama Jalan Durian menjadi Jalan Tangga Banggo.
Usulan perubahan nama jalan tersebut, mengingat di lokasi jalan Durian, terdapat kompleks pemakaman raja-raja Palu dan artefak bekas baruga Tangga Banggo, yang kemudian menjadi identitas penamaan di sekitar kawasan tersebut.
Pada rembuk yang diikuti lembaga adat Kelurahan Siranindi, tokoh masyarakat, sejarawan, arsitek, pemerhati sejarah dari Komunitas Historia Sulawesi Tengah (KHST), serta generasi muda setempat tersebut, ditemukan sejumlah fakta sejarah tentang sejarah kewilayahan lokasi yang dahulu bernama Siranindi (Tangga Banggo) tersebut. Moh Herianto dari KHST menjelaskan, Tangga Banggo sejatinya adalah nama sebuah bangunan baruga di wilayah Siranindi, yang digunakan sebagai tempat musyawarah membahas ketetapan yang berkaitan dengan masalah adat. Dinamakan Tangga Banggo, karena tangga pada baruga tersebut dapat dinaikkan, jika peserta musyawarah adat yang bersidang di dalamnya dinyatakan sudah kuorum.
“Lama-kelamaan, nama baruga ini menjadi identitas kewilayahan wilayah ini,” jelasnya.
Sementara itu, anggota KHST lainnya, Jefrianto menjelaskan, dalam literatur karya Etnolog berkebangsaan Belanda, AC Kruijt, De West Toradjas Op Midden Celebes, Siranindi dijelaskan merupakan wilayah tempat tinggal istri kedua Magau (raja) pertama Palu, Pue Nggari. Dalam literatur tersebut juga dijelaskan, penduduk awal Siranindi diperkirakan berasal dari wilayah Pegunungan Ulayo di sebelah barat Kota Palu dan wilayah Lando di pegunungan sebelah timur Kota Palu.
Sementara itu, sejarawan Untad, Moh Sairin, menyebut nama Siranindi, sempat hilang ratusan tahun dari penamaan wilayah tersebut di Kota Palu. dirinya menjelaskan, pada daftar nama-nama kampung di lembah Palu yang dibuat pemerintah kolonial pada tahun 1925 dan 1935, tidak mencantumkan nama Siranindi, melainkan Kamonji. Nama Siranindi kembali digunakan setelah pemekaran Kelurahan Kamonji menjadi dua kelurahan yakni Kelurahan Kamonji dan Kelurahan Siranindi, sekitar tahun 1995.
Lanjut Sairin, pada tahun 1900an, wilayah Siranindi diberikan kepercayaan untuk menjabat sebagai Pabisara atau pihak yang mengurusi bagian penerangan (penyebaran informasi dari pihak kerajaan). Hal ini dibuktikan dengan tercantumnya nama Pabisara Siranindi, Yodjo Torampe, dalam dokumen Korte Verklaring (perjanjian) Magau Palu, Yodjokodi tahun 1904. Siranindi juga merupakan bagian dari Patanggota (empat wilayah keadatan) kerajaan atau Kagaua Palu.
SEJARAH SIRANINDI DIUPAYAKAN JADI BUKU
Adapun fakta-fakta sejarah yang berkembang selama rembuk tersebut, disepakati oleh para peserta yang hadir, untuk dirumuskan dalam sebuah buku yang dapat menjadi bahan pelajaran di sekolah-sekolah. Hal ini mendapat respon positif dari anggota DPRD Provinsi Sulteng, Yahdi Basma yang hadir dalam rembuk tersebut. Dirinya mengatakan akan berupaya membantu mewujudkan rekomendasi tersebut.
Selain itu, arsitek asal Untad, Fuad, berharap ada upaya untuk merekonstruks kembali Baruga Tangga Banggo tersebut, dengan mengumpulkan data sebanyak-banyaknya tentang keberadaan dan model arsitektur baruga tersebut. Dirinya bahkan siap menerjunkan mahasiswanya, untuk turut membantu mendokumentasikan sejarah arsitektur baruga tersebut. JEF