TALISE, MERCUSUAR – Pakar Gempa dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Tadulako (Untad), Drs Abdullah, MT, mengimbau masyarakat agar tidak gampang percaya dengan isu atau mitos yang berkaitan dengan potensi bencana di wilayah Sulawesi Tengah (Sulteng), khususnya wilayah Kota Palu dan sekitarnya. Menurutnya, banyak isu dan mitos yang membuat masyarakat salah kaprah dalam menanggapi potensi bencana, misalnya gempa.
Dirinya mencontohkan mitos, jika gempa besar di sekitar Danau Lindu, maka berpotensi menyebabkan bencana banjir bandang di wilayah Kota Palu. Berdasarkan hasil penelusurannya, hanya satu sungai yaitu Sungai Lindu yang memiliki hulu di Danau Lindu dan mengalir ke Sungai Palu, sehingga kemungkinan untuk terjadi banjir bandang seperti yang dimitoskan, sangat kecil terjadi.
“Sungai Lindu ini dan sejumlah sungai lainnya mengalir ke Sungai Gumbasa yang alirannya sampai ke Sungai Palu. Kalaupun gempa besar terjadi di kawasan Danau Lindu dan mengakibatkan meluapnya air danau, topogfasi kawasan tersebut yang terdiri dari gunung dan bukit, turut memperkecil kemungkinan tersebut,” jelas Abdullah pada diskusi terkait fenomena gempa di Sulteng dan kesiapan kita menghadapinya, yang dilaksanakan di Warkop PINBUK, Kelurahan Besusu Tengah, Kamis (27/9/2018) malam.
Pada dialog tersebut, Abdullah juga menjelaskan sejarah terjadinya gempa dan tsunami di wilayah Sulteng dan Kota Palu, di antaranya gempa dan tsunami di Teluk Palu tahun 1927 dan 1938, gempa dan tsunami di Teluk Tomini tahun 1938, gempa dan tsunami di Tambu tahun 1968, gempa dan tsunami di Tonggolobibi tahun 1996, gempa di Bora tahun 2005, di Lindu tahun 2012, di Napu tahun 2017, serta terbaru di Palu yang terjadi 22 September lalu.
Dirinya juga menjelaskan dampak yang terjadi dari bencana tersebut, seperti adanya fasilitas publik yaitu pasar yang hilang di mamboro akibat tsunami tahun 1938, adanya desa yang hilang di Kecamatan Dampelas pasca tsunami 1968, turunnya permukaan laut dan daratan di sejumlah lokasi akibat gempa dan tsunami 1927, 1938 dan 1968, serta sejumlah fakta lainnya terkait dampak yang ditimbulkan dari bencana tersebut
“Salah satunya munculnya sumber air panas di Tambu pasca gempa 1968 dan sumber mata air panas baru di Bora, pasca gempa 2005. Potensi ini bisa disikapi positif sebagai potensi pariwisata baru dan potensi energi,” jelasnya.
Lanjut Abdullah, pemerintah daerah sebenarnya perlu memberikan perhatian pada kawasan-kawasan yang pernah terdampak dari bencana alam dahsyat ini, utamanya edukasi bencana. Untuk edukasi bencana, pihaknya mengusulkan di kawasan-kawasan yang terdampak tersebut, dibuatkan monumen yang memuat sejarah perisitiwa bencana tersebut, sehingga dapat menjadi pengingat bagi masyarakat sekitar untuk waspada, sekaligus punya potensi positif sebagai destinasi wisata baru. JEF