Kapolri Undang Ahli Waris Tanah di Tanjung

mabes-polri-mutasi-3-perwira-polda-sumsel

PALU, MERCUSUAR –  Kasus kepemilikan tanah di Tanjung Sari, Kelurahan Karaton, Kecamatan Luwuk, Kota Luwuk, Kabupaten Banggai turut menyita perhatian Kapolri.  Ihwal tanah di Tanjung telah disampaikan Ketua Utama Alkhairaat Habib Saggaf Aljufri kepada  Kapolri Jenderal Tito Karnavian saat Haul Guru Tua di Palu, 30 Juni lalu. Saat itu, Kapolri berkenan mengundang kembali pihak Alkhairaat dan ahli waris untuk membahas masalah ini di Jakarta.

Menindaklanjuti hal tersebut, baru-baru ini, ketua utama kemudian mengutus dua petinggi Alkhairaat untuk bertemu Kapolri. Surat tertulis mendelegasikan kepada Habib Alwi Aljufri selaku pelaksana tugas Ketua Utama Alkhairaat, dan Habib Alwi Muhammad Aljufri selaku dewan ulama Alkhairaat.  “Kami telah bertemu staf Kapolri dan meminta waktu untuk bertemu Kapolri,” kata Habib Alwi ketika dihubungi Mercusuar, pekan lalu.

Namun, keterlibatan Alkhairaat semata-mata untuk meluruskan masalah ini. Bahkan, lebih daripada itu, ahli waris merupakan bagian dari Alkhairaat, jauh sebelum kasus ini menyita perhatian publik. “Ahli waris merupakan abnaulkhairaat, keluarga besar Alkhairaat,” kata Habib Hasan Alhabsyi, salah satu petinggi Alkhairaat kepada wartawan di Palu, baru-baru ini.

Menurut Hasan, pihaknya siap mempertahankan status tanah seluas 18 hektare tersebut kembali kepada pemiliknya sebagai ahli waris.  

Diketahui, Pengadilan Negeri Luwuk telah menguatkan kepemilikan lahan kepada ahli waris dan menetapkan eksekusi terhadap lahan di Tanjung pada 2017. Eksekusi berupa pengosongan dilakukan dalam dua tahap. Eksekusi tahap pertama digelar pada  3 Mei 2017, lalu  berlanjut pada 19-21 Maret 2018.   Sebagai itikad baik, keluarga ahli waris menyiapkan 4 hektare lahan relokasi terhadap 200-an keluarga yang menghuni lahan di Tanjung. Ahli waris juga menyiapkan tenaga dan kendaraan untuk memobilisasi barang ke tempat relokasi.  

Persoalan kemudian terjadi pada 24 Juli 2018, atau sehari setelah Ketua PN Luwuk berganti. Pejabat yang baru kemudian membatalkan penetapan ekseskusi yang dikeluarkan Ketua PN Luwuk sebelumnya. Akibatnya, masyarakat kembali berupaya menduduki lahan tersebut, di antaranya membongkar  lahan yang telah dipagar.  Terhadap hal ini, kuasa hukum ahli waris dari Advokat Abd Salam Associates Surabaya, telah melaporkan ketua PN Luwuk ke Mahkamah Agung dan Komisi Yudusial. Kapolda Sulteng juga dilapori mengenai aparat setempat yang diduga mendiamkan pembokaran pagar yang telah dibuat ahli waris.

Kasus tanah di Tanjung memang menyita perhatian khalayak. Tidak hanya di Kabupaten Banggai, tokoh Sulteng yang ada di level nasional juga sampai turun tangan mencari tahu hal ini.  Beberapa waktu lalu, tambah Hasan Alhabsyi, anggota Dewan Perwakilan Daerah RI Sulteng, sampai berkomunikasi dengan Pemerintah Daerah di Banggai, dan menguatkan jika tanah tersebut milik ahli waris Salim Bakkar, yang telah lama diperjuangkan anaknya, Ny Berkah Bakkar, dan diturunkan  kepada cucunya, dalam hal ini Fuad Bakkar dan keluarga.

DARI MASA BELANDA

Fuad Bakkar mengatakan lahan seluas kurang lebih 18 hektare yang ada di Tanjung  itu dibeli kakeknya, Salim Bakkar pada tahun 1933. Salim kala itu adalah saudagar yang terkenal.   “Kakek saya (membelinya) tangan ke enam,” katanya. Saat dibeli, di atas tanah tersebut terdapat 395 pohon kelapa. Dokumen jual beli tertulis dalam Hukum Belanda.  

Sang kakek kemudian memberikan kepercayaan kepada sesorang untuk mengurus tanah tersebut.  Beberapa waktu kemudian, ada empat orang yang bermohon meminjam untuk menempati tanah tersebut, di antaranya seorang nelayan, dan pekerja kapal. Belakangan, makin banyak orang yang menempati tanah tersebut.  Klaim kepemilikan kemudian bermunculan.  Berkah Bakkar, anak dari Salim Bakkar, kemudian berupaya untuk mengembalikan tanah tersebut kepada ahli waris, dalam hal ini ia dan keluarganya. “Ibu saya memulai usahanya pada tahun 1977-1978,” kata Fuad.

Seiring waktu, buah perjuangan sedikit menunjukkan titik terang, setidaknya pengakuan. Pada tahun 1993, secara tertulis sebanyak 57 penghuni tanah tersebut mengajukan peminjaman tempat dan kesiapannya sewaktu-waktu akan meninggalkan tanah itu jika diminta ahli waris. Permintaan yang sama diajukan 22 penghuni dalam masing-masing lembar pernyataan.

Belakangan, masalah kembali muncul. Puluhan sertifikat yang dikeluarkan Badan Pertanahan di atas lahan tersebut. Pemiliknya beragam. Ada aparat keamanan, bahkan anggota dewan, juga beberapa kantor milik pemerintah. Hingga kemudian dari semua upaya hukum yang telah dilakukan ahli waris, Ketua PN Luwuk Ahmad Yani, mengeluarkan penetapan eksekusi No. 02/Pen/Pdt.6/1996/PN.Luwuk pada 27 April 2017. Sayang, pada 24 Juli 2018, atau sehari setelah ia menjabat Ketua PN Luwuk, Ahmad Shuhel Nadjir mambatalkan penetapan tersebut.

Fuad menegaskan kasus ini hanyalah tanah keluarga, dan tidak ada kaitannya dengan hal lain. Ia membantah adanya rumor yang menyebut  lahan tersebut akan dijual kepada salah satu pengusaha besar di republik ini. “Kami sudah keluarkan miliaran, bahkan puluhan miliar rupiah, termasuk pada eksekusi yang terakhir,” katanya.  Ia juga mengaku pernah disebut tak memiliki hati nurani karena tega mengosongkan lahan dari 200-an keluarga di sana.  Ia pun berharap prasangka itu dihilangkan, sebab tanah tersebut merupakan hak ahli waris. 

Namun, di tengah upaya menuntut keadilan, ahli waris dengan jiwa besar menyiapkan lahan relokasi. Luasnya empat hektare. Lahan relokasi ini pun disetujui oleh pemerintah daerah. Di lahan yang baru, satu keluarga mendapat kaplingan 7 x 12 meter. Mereka yang punya sertifikat di Tanjung, dapat kompensasi yang lebih.  Di lahan relokasi itu pun disiapkan fasilitas penerangan.  DAR

 

 

Pos terkait