LOLU UTARA, MERCUSUAR – Yayasan Kompas Peduli Hutan (KOMIU) menggelar Workshop Pengembangan Model Nilai Tambah Ekonomi Pertambangan yang menghadirkan organisasi perangkat daerah (OPD), akademisi, NGO, media, serta unsur swasta. Forum ini menyoroti besarnya investasi sektor pertambangan di Sulawesi Tengah yang belum sebanding dengan kontribusinya bagi daerah penghasil.
Data yang dipaparkan menunjukkan bahwa total realisasi investasi pertambangan di Sulawesi Tengah pada 2023 mencapai Rp29,82 triliun, namun Dana Bagi Hasil (DBH) yang diterima daerah hanya sekitar Rp200 miliar per tahun. Kondisi ini dinilai belum menggambarkan keadilan ekonomi bagi wilayah penghasil, khususnya kabupaten penghasil nikel.
Workshop dibuka secara resmi oleh Asisten Pemerintahan dan Kesra Setda Provinsi Sulteng, Fahrudin, yang menekankan pentingnya merumuskan model pengelolaan tambang yang mampu memberikan nilai tambah nyata bagi daerah. Ia menyebut, tambang harus menjadi motor pembangunan, bukan sekadar objek galian.
“Kita ingin tambang bukan hanya menjadi obyek galian, tetapi menjadi motor pembangunan dan penggerak ekonomi yang inklusif,” tegas Fahrudin.
Ia menambahkan bahwa penerapan good mining practice menjadi kunci agar sektor pertambangan memberikan dampak signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat, terutama di wilayah penghasil nikel seperti Morowali dan Morowali Utara.
“Semoga dihasilkan model ekonomi yang menyejahterakan,” ujarnya, seraya berharap kontribusi sektor tambang meningkat melalui pajak, CSR, serta kewajiban Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (PPM).
Direktur Yayasan KOMIU, Gifvents, menjelaskan bahwa forum ini fokus menyusun model benefit sharing atau pembagian manfaat sektor nikel di Sulteng. Dua daerah, Morowali dan Morowali Utara, menjadi fokus penyusunan model karena keduanya merupakan produsen nikel terbesar di dunia.
Model yang disusun akan dikonsultasikan dengan Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan sebelum diujicobakan di dua daerah tersebut. Hasil uji coba akan dievaluasi agar diperoleh format terbaik untuk diterapkan secara berkelanjutan.
“Program ini untuk mendukung pemerintah daerah agar pertambangan memberikan kontribusi optimal bagi pembangunan,” ungkap Gifvents.
Akademisi Universitas Tadulako, Prof. Moh. Ahlis Djirimu, turut memberikan pandangan sebagai narasumber terkait strategi penguatan nilai tambah ekonomi tambang.
Peserta yang hadir berasal dari OPD teknis, akademisi, NGO, pihak swasta, media, hingga mitra strategis yang berkaitan langsung dengan industri pertambangan. Forum ini diharapkan menjadi langkah penting dalam menghadirkan tata kelola pertambangan yang lebih adil dan berkelanjutan bagi masyarakat Sulawesi Tengah. UTM






