LOLU SELATAN, MERCUSUAR- Konferensi Nasional Mineral Kritis Indonesia (KNMKI) bertajuk “Telaah Kritis Industri Pertambangan dan Hilirisasi Nikel dengan Perspektif Keadilan Sosial dan Lingkungan” berlangsung di Kota Palu, sejak Rabu (9/10/2024) hingga Kamis (10/10/2024), di Hotel Aston. Kegiatan yang diprakarsai 15 organisasi masyarakat sipil itu bertujuan untuk menelaah secara kritis aspek keadilan sosial, lingkungan,dan praktik tata kelola industri pertambangan mineral kritis di Indonesia.
Konferensi ini menjadi wadah bagi semua pihak untuk saling mendengarkan dan berbagi pandangan, dengan harapan dapat menciptakan masa depan yang lebih baik dan berkelanjutan bagi semua.
Ketua panitia konferensi, Linda Rosalina, mengatakan, semangat kebersamaan dalam kegiatanini sebagai wujud ingin menegaskan keseriusan para lembaga-lembaga yang terlibat dalam kerja-kerja advokasi nikel dan komitmen semua pihak yang hadir untuk memperjuangkan tata kelola industri nikel yang lebih adil, berkelanjutan, dan mengedepankan hak-hak masyarakat lokal serta lingkungan.
Menjurutnya, upaya Indonesia untuk menjadi pemain kunci dalam rantai pasok nikel global, terutama dalam konteks transisi energi, hilirisasi nikel sampai saat ini terus menimbulkan masalah lingkungan dan sosial serius.
Sementara, Direktur Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER), Pius Ginting mengatakan, industri pengolahan nikel merupakan pengguna listrik terbesar di Sulawesi, yang mayoritas masih mengandalkan PLTU batubara. Penggunaan PLTU ini telah menyebabkan pencemaran udara dan air yang signifikan, merugikan masyarakat setempat.
Untuk mengatasi masalah ini, Pius menekankan bahwa perlu adanya pengembangan jaringan transmisi Sulawesi yang saling terhubung, sehingga dapat meningkatkan penggunaan energi terbarukan di kawasan industri.
“Selain itu, produksi nikel perlu diperlambat melalui penerapan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya Tahun Berjalan (RKAB) yang terbatas, agar selaras dengan pengembangan daya dukung energi terbarukan,” kata Pius.
Iwan Kusnawan, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Serikat Pekerja Nasional (DPP SPN), menyoroti bahwa beberapa kali terjadi kecelakaan kerja di sektor ini tanpa adanya investigasi mendalam dari pihak terkait. “Akibatnya, setiap kali ada korban dalam insiden, penanganan yang diberikan hanya bersifat normatif,” jelas Iwan.
Masalah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di sektor tenaga kerja Indonesia, khususnya dalam industri nikel, bersifat sistemik dan memerlukan pendekatan komprehensif. Demikian dijelaskan, Leony Sondang Suryani, Peneliti Djokosoetono Research Center Universitas Indonesia (DRC UI). Dia mengatakan, pelanggaran tidak hanya disebabkan oleh tindakan perusahaan, tetapi juga terkait dengan peran pemerintah dalam melindungi hak-hak dasar tenaga kerja. Ada tiga aspek hukum yang berkontribusi terhadap masalah ini: substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum.
Fajri Fadhillah, Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), menegaskan langkah konkret harus segera diambil oleh administrasi Pemerintahan Prabowo-Gibran. Menurut Fajri, pengetatan standar lingkungan untuk tambang dan smelter nikel serta penguatan penegakan hukumnya harus menjadi prioritas utama kebijakan pemerintah.
Sementara, Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira, menjelaskan meskipun hilirisasi nikel telah membawa keuntungan ekonomi dalam skala nasional, bagi hasil yang diterima oleh daerah penghasil nikel pada kenyataannya relatif kecil. Hal ini disebabkan oleh model kawasan industri yang berada dalam Proyek Strategis Nasional (PSN), dimana sebagian besar manfaat ekonomi berpusat pada pemerintah pusat dan perusahaan besar, sementara daerah yang terdampak langsung oleh kegiatan pertambangan hanya memperoleh bagian yang sangat terbatas. AMR