LPKA Palu – IPKI Sulteng Kawal Kesehatan Mental ABH

PETOBO, MERCUSUAR – Memberikan pelayanan kesehatan baik secara mental maupun fisik merupakan salah satu hak dari setiap Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH), yang berada di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Kelas II Palu. Untuk itu, LPKA Palu bersama Ikatan Psikolog Klinis Indonesia (IPKI) Sulteng mengawal kesehatan mental ABH, guna memastikan kesehatan mentalnya, Kamis (4/1/2024).

Pada kegiatan yang bertempat di Ruang Klinik Ceria, Kepala LPKA Palu yang saat itu didampingi oleh Kepala Seksi Pembinaan, Ida Bagus, dan Kepala Subseksi Perawatan, John Adrianto, berkoordinasi bersama psikolog, Putu Ardika Yana dan orang tua dari anak binaan MF. Kegiatan ini merupakan bentuk kepedulian LPKA Palu, dalam menangani kesehatan mental anak binaan yang butuh pendampingan khusus.

Selanjutnya, Revanda mengatakan, pihaknya terus berupaya agar anak tersebut memperoleh penanganan semaksimal mungkin, untuk dapat memperbaiki kesehatan mentalnya, namun tetap harus butuh peranan penting dari kedua orang tuanya.

“Kami memberikan pembinaan kepada setiap anak di sini untuk menjadikan mereka lebih baik lagi. Namun tidak lepas dari peranan orang tua. Untuk itu, LPKA Palu senantiasa melakukan koordinasi dengan keluarga, agar keluarga ikut mengawal tumbuh kembang anaknya. Dalam menghadapi kesehatan mental anak, orang tua perlu paham jika anak mulai terganggu, berbicaralah dari hati ke hati dengan anak sebagai langkah awal orang tua untuk mengetahui kesehatan mental anaknya,” ucap Revanda.

Menanggapi hal tersebut, Putu Ardika Yana, selaku psikolog IPKI Sulteng, yang juga diketahui merupakan psikolog yang mendampingi anak MF sejak dilakukan penahanan, mengatakan bahwa dalam memperbaiki perilaku MF, butuh penanganan lanjutan agar anak MF mampu mengontrol emosi dengan baik.

“Dengan memberikan penanganan lanjutan terhadap anak MF, kita dapat mengatasi dan mengembalikan perilaku MF menjadi lebih baik,” jelas Putu Ardika.

“Nantinya saya akan memberikan rekomendasi pengobatan untuk kesehatan mental anak yang bertujuan untuk mengembalikan fungsinya untuk berkegiatan seperti sekolah hingga ke perguruan tinggi. Stigma minum obat yang selama ini negatif, itu salah, karena berobat, merupakan salah satu kebutuhan, dan tentu (pasien) tidak selamanya harus minum obat. Pengobatannya bisa di-nol-kan dan dihentikan, tergantung kebutuhannya,” jelasnya lebih lanjut.

Mendengar penjelasan tersebut, Sanawiyah selaku perwakilan orang tua ABH mengatakan, dirinya akan mendukung dan mengikuti arahan dari psikolog dan pihak LPKA Palu.

“Terima kasih atas arahannya semoga kedepannya anak kami memiliki kesehatan mental yang lebih baik dan dapat diterima kembali di masyarakat,” tutup Sanawiyah. */JEF

Pos terkait