Masa Depan Kelapa Sawit di Indonesia: Tuntutan Global dan Respon GAPKI

Kelapa sawit, tanaman yang memiliki nama latin Elaeis guieneensis, yang kemudian dijuluki sebagai “buah emas”, lantaran memiliki nilai ekonomis yang tinggi, menjadi primadona ekspor Indonesia. Indonesia merupakan negara eksportir kelapa sawit terbesar di dunia. Menurut data Kementerian Pertanian (Kementan), total nilai ekspor kelapa sawit dari Indonesia mencapai US$17,36 miliar pada 2020. Angka tersebut memberikan kontribusi sebesar 53,46 persen dari total nilai ekspor kelapa sawit global yang mencapai US$32,48 miliar pada 2020.

Tidak ada yang membayangkan kelapa sawit kini jadi primadona ekspor Indonesia. Apalagi jika menilik sejarah panjang kehadiran buah emas ini di tanah air, ratusan tahun lalu. Martin Sitompul dalam artikelnya di Historia berjudul “Riwayat Buah Emas di Tanah Hindia” menulis, kehadiran kelapa swait di nusantara, bermula dari empat bibit sawit yang didatangkan Pemerintah Hindia Belanda. Dua bibit berasal dari Bourbon (Mauritius, Afrika tengah), sedangkan dua bibit lainnya dari Hortus Botanicus, Amsterdam, Belanda. Bibit-bibit sawit tadi ditanam di Kebun Raya Bogor. Pada 1853, keempat tanaman sawit berbuah. Bijinya disebarkan secara gratis. Meski demikian, pohon-pohon sawit pada saat itu hanya diperuntukan sebagai penghias taman atau jalanan.

Pada paruh kedua abad ke-19, dengan meningkatnya permintaan bahan baku untuk produksi mentega dan sabun di Eropa dan kemudian di Amerika, maka berkembang pula industri ekspor minyak kelapa sawit di bagian dunia itu. Menyadari potensi ekonomi kelapa sawit, pemerintah kolonial berhasrat turut meramaikan pasar. Mereka memulainya dengan menyebar bibit kelapa sawit di beberapa wilayah seperti Banyumas, Priangan, Pamanukan, Ciasem, Tanjung Morawa, Bekalla, Polonia, dan Deli (Sumatra Utara).

Namun, rakyat Hindia Belanda tidak begitu menaruh minat terhadap kelapa sawit. Sebabnya, kelapa sawit masih terasa asing. Mereka lebih suka memakai kelapa yang dapat diolah dalam berbagai ragam makanan ataupun bahan untuk keperluan rumah tangga. Saat pemerintah kolonial hampir menyerah mengupayakan kelapa sawit, seorang pengusaha Belgia bernama Adrien Hallet justru tetap menanam kelapa sawit. Perkebunannya membujur di Sungai Liput (Aceh) dan Pulu Radja (Asahan, Sumatra Utara) pada 1911. Hallet kemudian menyasar Deli, Sumatra Timur, sebagai lahan perkebunan kelapa sawit. Hasilnya, Kelapa sawit tipe Deli merupakan kelapa sawit terbaik di antara tipe-tipe yang lain, sebagaimana catatan Kompas dalam “Pohon Kelapa Sawit Tertua di Indonesia”.  

Pada 1919, minyak kelapa sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) dari kawasan Pesisir Timur Sumatra diekspor untuk kali pertama. Hingga 1940-an, telah berdiri sekira 60-an perkebunan sawit di Hindia Belanda meliputi luas areal 100.000 hektare. Hindia Belanda menjadi pemain penting eksportir minyak sawit mentah terbesar di dunia. Kapal-kapal dagang hilir mudik membawa minyak sawit dari Aceh, Asahan, dan Lampung menuju Rotterdam, Belanda. Di masa ini, permintaan cukup banyak berasal dari pabrik-pabrik margarin dan sabun di Eropa.

Setelah kemerdekaan, industri sawit mulai bangkit lagi pada paruh kedua 1970. Hal ini tidak terlepas dari temuan baru dalam pengolahan minyak sawit, yakni proses netralisasi yang membuat sebagian minyak membeku dalam suhu ruang dan sebagian lagi tetap cair. Minyak yang cair digunakan sebagai minyak goreng sedangkan yang beku untuk bahan baku margarin, sabun, dan industri olekimia.

Untuk menggalakkan produktivitas, pemerintah menerbitkan sejumlah kebijakan. Pada 1980, pemerintah mencanangkan program Perkebunan Inti Rakyat (PIR). Melalui PIR terjalin kemitraan antara Perkebunan Besar Negara dengan Perkebunan Rakyat. Itulah cikal bakal petani mengenal kelapa sawit. Program PIR dikembangkan secara simultan ke 12 provinsi meliputi daerah Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi. Pemerintah kemudian melibatkan para transmigran untuk dikaryakan dalam program PIR-Trans. Selain itu, pemerintah juga memberi kesempatan terhadap pengusaha swasta merambah bisnis sawit lewat program Perkebunan Besar Swasta Nasional (PBSN).

Memasuki dekade 1990, industri sawit tanah air memasuki masa ekspansi. Perkebunan kelapa sawit membentang di berbagai pulau besar dari ujung Sumatra sampai Papua. Dari tahun ke tahun nilai ekspor minyak sawit mentah dari Indonesia terus meningkat. Kelapa sawit menjadi salah satu komoditas penyumbang devisa terbesar bagi negara.

Transformasi kelapa sawit menjadi primadona ekspor Indonesia ini sendiri, tidak lepas dari masalah. Isu penting sawit di tataran global menyatakan bahwa sawit dikelola secara tidak berkelanjutan. Para pelaku sawit dunia, terutama Uni Eropa dan AS, memiliki kekhawatiran bahwa Indonesia lewat Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), belum sepenuhnya mampu mencegah perluasan perkebunan kelapa sawit ke area-area yang kritis, seperti hutan gambut atau kawasan hutan primer, yang berkontribusi pada degradasi lingkungan dan hilangnya habitat bagi flora dan fauna.

Sektor sawit Indonesia masih berkutat dengan tekanan Eropa, Uni Eropa telah mengeluarkan regulasi turunan Pedoman Energi Terbarukan yang dikenal sebagai RED II (Renewable Energy Directive II), di mana kebijakan ini memasukkan kelapa sawit sebagai komoditas berisiko tinggi terhadap perusakan hutan atau deforestasi. Uni Eropa juga meyakini, impor biodiesel dari Indonesia menjadi ancaman bagi industri biodisel berbahan nabati lain, seperti kedelai. Selain itu, Dewan Uni eropa juga mengeluarkan EU Deforestation Regulation (EUDR), yang bertujuan untuk meminimalisasi risiko deforestasi dan degradasi hutan yang ditimbulkan dari produk seperti sawit, kopi, kakao, kedelai, sapi, dan kayu. EUDR pun nantinya akan mewajibkan uji kelayakan, untuk memastikan proses produksi sejumlah komoditas itu tak berdampak buruk pada lingkungan.

Meskipun dirundung keraguan, ISPO sendiri menjadi jawaban Indonesia atas tekanan publik ini. Menurut Diah Suriadiredja, dari Yayasan Kehati, ada lima area yang diperbaiki melalui ISPO ini. Pertama, pengambilan keputusan dan penerbitan sertifikat yang dilakukan pihak ketiga yang independen, yang menjawab keraguan mengenai independensi dan transparansi. Kedua, kompetensi auditor yang melakukan tugas diukur melalui sertifikat kompetensi. Ketiga, ISPO diberlakukan tidak hanya bagi perusahaan perkebunan besar, tetapi juga pekebun kecil. Keempat, perbaikan juga dilakukan dengan pelibatan masyarakat sipil dalam kelembagaan ISPO. Kelima, sistem ini telah menerapkan mekanisme keluhan yang lebih jelas.

Penerapan ISPO bukan tanpa tantangan. Pemerintah Indonesia harus memutar otak bagaimana menerapkan ISPO bagi petani atau pekebun swadaya. Selain itu, ada juga masalah lahan-lahan sawit yang masuk ke area hutan, dan harus diselesaikan oleh Indonesia. Kritik lain terkait kelemahan ISPO adalah menyangkut aspek penegakan dan pemantauan kepatuhan terhadap standar yang ada. Komunitas global tak bisa berharap pada kerangka hukum yang mengatur ISPO, dalam penegakan hukum dan pemantauan terhadap pelanggaran yang terjadi. Hal ini karena terbukti bahkan negara/pemerintah yang melahirkan ISPO tersebut, bisa dengan mudah melakukan tindakan yang tidak konsisten dengan prinsip yang ada dalam ISPO terkait deforestasi, dalam hal ini kebijakan negara yang permisif terhadap deforestasi.

Tekanan dari publik, kemudian larangan ekspor minyak kelapa sawit (CPO) yang diberlakukan Pemerintah Indonesia pada 28 April – 23 Mei 2022 untuk menjawab kekurangan pasokan di dalam negeri, membuat negara-negara Uni Eropa beralih ke minyak nabati non sawit. Imbasnya, harga CPO di pasar internasional menurun dan diperkirakan tidak akan melebihi level US$1.000 per ton hingga akhir tahun ini. Hal tersebut dipengaruhi laju permintaan CPO yang menurun lantaran pasokan minyak nabati non-CPO tinggi di pasar.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Eddy Martono, sebagaimana dilansir dari Bisnis.com mengatakan, kondisi melemahnya harga dan permintaan CPO, tentunya bakal berdampak terhadap penerimaan negara yang saat ini terus menipis.

GAPKI memandang, sertifikasi ISPO sebagai jawaban Indonesia atas tekanan global, merupakan salah satu bukti dari implementasi kebijakan tata kelola perkebunan sawit berkelanjutan. Meskipun belum semua perkebunan sawit saat ini memperoleh sertifikasi ISPO, perusahaan-perusahaan termasuk petani yang saat ini telah memperoleh sertifikasi ISPO mencerminkan implementasi  kebijakan tatakelola berkelanjutan perkebunan sawit di Indonesia telah berjalan pada jalur yang benar.

Tekanan global terhadap kebijakan perkebunan di Indonesia, salah satunya kelapa sawit, juga menjadi perhatian dari Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Provinsi Sulawesi Tengah, Tri Putra Toana. Tri Putra Toana dalam Workshop Wartawan yang dilaksanakan PWI Sulteng dan GAPKI Sulawesi, di Hotel Palu Golden, Jumat (20/10/2023) menjelaskan, EUDR atau undang-undang anti deforestasi yang dikeluarkan oleh Uni Eropa, sejatinya adalah perang dagang persaingan antara minyak nabati produk Eropa, agar sawit Indonesia sulit masuk ke teritori Uni Eropa.

“Sehingga apabila ini terjadi, hampir 20 juta jiwa yang bergantung di kelapa sawit akan mengalami kesulitan pengembangan ekonomi. Ini yang membuat PWI Sulteng mencoba bersinergi dengan GAPKI Sulawesi, sehingga dapat merumuskan pandangan kepada pemangku kepentingan,” ujarnya.

Pada workshop yang mengangkat tema “Konflik Agraria dan Implikasi Hukum di Indonesia” ini, Ketua GAPKI Sulawesi, Doni Yoga Perdana mengatakan, kegiatan ini menjadi momentum merangkul jurnalis se-Sulteng, agar dapat memberikan masukan yang membangun kepada GAPKI Sulawesi, serta melihat sisi berimbang atas praktik dan regulasi yang ada.

“Wartawan memberikan peran yang besar terhadap persepsi masyarakat luas, bahkan menjadi keyakinan bersama. Kekuatan jurnalis sebagai pembawa pesan rakyat akan didengar pemangku kebijakan bahkan melahirkan kebijakan baru,” ujarnya.

Menurutnya, informasi yang diberikan wartawan tentang konstalasi industri kepala sawit akan menjadi edukasi kepada masyarakat, juga menegaskan citra industri kelapa sawit yang berkelanjutan, yang menjadi langgam baru industri sawit di tanah air. Hadirnya perusahaan kelapa sawit kata dia, bisa memberikan manfaat bagi semua pihak, bagi semua pemangku kepentingan dan masyarakat luas.

“Kita ingin menjadikan wartawan partner diskusi yang membangun untuk membangun iklim investasi yang sejuk, khususnya di Sulteng,” ujarnya.

Saat ini, kata dia, regulasi terbaru dari industri kelapa sawit menekankan pada sistem informasi perijinan perkebunan yang terpusat. Khusus untuk anggota GAPKI di Sulteng, keseluruhannya sudah menyelesaikan pengisian regulasi tersebut.

“Ini langkah awal yang baik untuk fundamental untuk industri kelapa sawit yang berkelanjutan,” ujarnya. JEF

Pos terkait