Masyarakat Pendukung Budaya Megalitik di Lore Berbeda Dengan Penduduk Lore Saat Ini

Oleh: Jefrianto (Wartawan Mercusuar)

Paparan peneliti Pusat Riset Arkeologi, Prasejarah dan Sejarah pada Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Dwi Yani Yuniawati Umar, pada Seminar Nasional Sulawesi Tengah negeri Seribu Megalit, Kamis (7/12/2023), memunculkan banyak temuan menarik. Pada paparannya tentang “Potensi Budaya Megalitik di Kawasan Dataran Tinggi Lore, Kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah”, Dwi Yani Yuniawati Umar, salah satunya menjelaskan mengenai masyarakat pendukung kebudayaan megalitik di wilayah tersebut.

Berdasarkan kajian DNA terhadap penduduk Dataran Tinggi Lore masa kini menunjukkan, penanda genetika mereka cukup berbeda dengan genetika pendukung budaya megalitik di wilayah ini. Jika mempertimbangkan data ini, serta kemungkinan adanya percampuran atau keberadaan dua populasi yang mendukung budaya megalitik di wilayah ini, maka dapat diusulkan migrasi manusia ke Dataran Tinggi Lore, setidaknya sudah terjadi dalam tiga gelombang, yaitu penghunian awal sebelum 3.500 tahun lalu oleh manusia berciri Austrolomelanesid, berikutnya kedatangan manusia penutur Austronesia awal pada kurun waktu menjelang atau awal abad Masehi, dan migrasi penutur Austronesia yang merupakan nenek moyang penduduk saat ini. Tidak mengherankan kata dia, informasi para peneliti awal di Dataran Tinggi Lore selalu menyatakan, penduduk saat ini hampir tidak mengenali budaya megalitik di wilayah tersebut. Hal ini, karena mereka memang pendatang yang relatif baru,

Menurut Dwi Yani, memang tidak mudah untuk menentukan pendukung budaya megalitik di Dataran Tinggi Lore. Untuk mengungkap hal ini kata dia, beberapa hasil analisis dapat memberikan gambaran. Analisis gigi geligi yang dilakukan secara umum, menunjukkan adanya afinitas ciri rasial Mongoloid yang lebih dominan, seperti terbukti dari adanya gigi-gigi berbentuk tembilang (shovel).

Lanjut Dwi Yani, analisis DNA sişa manusia yang ditemukan, juga cenderung menempatkan pendukung budaya megalitik di Dataran Tinggi Lore dalam kelompok populasi penutur bahasa Austronesia, yang secara umum memang berciri Mongoloid Selatan. Namun perlu dicatat, ada sedikit perbedaan populasi di Lembah Behoa dan Lembah Bada. Populasi pendukung megalitik di Lembah Behoa, lebih menunjukkan ciri dekat dengan populasi Indonesia Barat (Bali dan Mentawai), dibanding yang ada di Lembah Bada.

“Jadi, kemungkinan memang ada dua populasi yang berbeda ketika itu. Bukti tidak langsung diperoleh dari hasil pengamatan secara cermat terhadap arca megalitik. Ada di antara arca-arca di wilayah penelitian yang dipahat dengan bentuk mata cenderung lebar dan memberikan kesan berambut ikal, sebagaimana terlihat pada bagian atas kepala arca. Ciri seperti itu memang dapat mencitrakan ciri populasi Austrolomelanesid. Keberadaan dan percampuran antara dua populasi, memang cukup yang menyatakan masih ada kelompok dimungkinkan, jika mempertimbangkan sejumlah informasi populasi yang cenderungan berciri Austrolomelanesid di sekitar Dataran Tinggi Lore ini,” jelasnya.

Selain itu kata dia, bukti adanya pembakaran lahan yang diduga kuat oleh manusia pada sekitar 3.500 tahun lalu, juga perlu diperhatikan. Tidak tertutup kemungkinan, manusia sudah ada di Dataran Tinggi Lore sejak 3.500 tahun lalu, sebelum budaya megalitik dikenalkan oleh pendatang baru berbahasa Austronesia pada sekitar awal abad Masehi.

Lanjut Dwi Yani, selama ini masih menjadi tanda tanya besar, kapan sesungguhnya budaya megalitik di Dataran Tinggi Lore berlangsung. Beberapa spekulasi memang sudah disampaikan oleh beberapa ahli, berdasarkan pada aspek budaya tertentu. Spekulasi pertanggalan Budaya Megalitik pada umumnya berkisar antara Masa Neolitik dan Masa Logam Awal (Paleometalik).

Sejumlah pertanggalan absolut telah diperoleh dalam penelitian yang dilakukan oleh Dwi Yani pada 2020. Setelah dilakukan analisis yang cukup cermat, secara umum budaya megalitik di Dataran Tinggi Lore berlangsung sejak sekitar abad ke-2 sebelum Masehi hingga sekitar abad ke-13 Masehi. Pendukung budaya megalitik Lembah Bada mungkin sudah mulai menghuni daerah ini sekitar abad ke-2 SM dan berakhir sekitar abad ke-12.

“Kalamba yang tertua diketahui berasal dari abad ke-1 Masehi munculnya hampir bersamaan dengan kubur tempayan. Lembah Behoa mungkin dihuni lebih kemudian, sekitar abad ke-1 SM dan berakhir sekitar abad ke-12 atau ke-13 M. Penggunaan kalamba baik di Lembah Bada dan Behoa dimulai pada abad ke-1 Masehi,” jelasnya.

Menurut Dwi Yani, hasil pertanggalan yang rinci dengan mengintegrasikan sejumlah besar pertanggalan absolut ini, diketahui baru pertama kali dilakukan di sini. Data ini kata dia, tentu saja dapat memberikan batas-batas waktu yang lebih akurat dan dapat diandalkan (reliable), dibanding data sebelumnya. Namun, hingga kini belum dapat diungkapkan secara pasti faktor penyebab budaya megalitik di Dataran Tinggi Lore surut dan akhirnya hilang.  

Asal Usul Budaya Megalitik di Lore

Penjelasan mengenai masyarakat pendukung dan pertanggalan kebudayaan megalitik di Dataran Tinggi Lore yang disampaikan Dwi Yani, juga memberikan gambaran mengenai asal usul kebudayaan megalitik di kawasan tersebut. Dwi Yani melihat, perbandingan dengan temuan serupa di tempat lain baik di Indonesia maupun luar Indonesia, tidak memberikan hasil yang pasti, karena data pertanggalan situs-situs lain masih belum begitu jelas.

“Memang ada dugaan situs di Laos maupun India lebih tua, mungkin sudah ada di sana sejak 3.000 tahun lalu. Namun, data pertanggalannya meragukan dan tidak pasti. Pertanggalan budaya megalitik Dataran Tinggi Lore sementara ini memang termasuk di antara yang tertua, terutama dalam konteks Indonesia,” ujarnya.

Menurutnya, ada satu bukti tidak langsung yang mungkin perlu dipertimbangkan dalam hal ini, adalah keberadaan cacing Schistosoma japonicum di Dataran Tinggi Lore. Jenis cacing ini berasal dari Cina dan juga spesies endemik di DAS Mekong, yang tidak jauh dari Laos. Keberadaannya di Dataran Tinggi Lore, bisa jadi terbawa secara tidak langsung oleh migran dari kawasan Indocina (Vietnam) itu. Data ini hampir tidak pernah disinggung dalam penelitian lain, dan saat ini pun belum dapat dijadikan bukti yang kuat. Hanya saja, hal ini membuka wawasan yang bisa jadi dapat menjadi jalur untuk pembuktian lebih lanjut.

Lanjut Dwi Yani, jika didasarkan pada kajian genetika, marka genetika yang diperoleh dari tulang-tulang yang ditemukan dalam kubur batu (kalamba) dan kubur tempayan, justru mengindikasikan adanya arus migrasi dari jaringan Taiwan – Filipina – Sulawesi – Nusa Tenggara. Perbedaan data artefaktual dan genetika seperti ini, seringkali dijelaskan dengan fenomena difusi daripada migrasi. Menurutnya, mungkin saja manusia pendukung budaya megalitik Dataran Tinggi Lore memang populasi yang dekat dengan penutur bahasa Austronesia dari jaringan Taiwan – Filipina – Sulawesi – Nusa Tenggara, tetapi karena adanya interaksi antar budaya dengan Dataran Asia Tenggara, ada sejumlah budaya (materi) yang kemudian ikut terimbas (difusi) masuk dan berpengaruh ke dalam budaya mereka.

Kedatangan populasi gelombang ketiga (penduduk sekarang) kata dia, tidak diketahui kapan tepatnya terjadi. Kajian bahasa yang dilakukan untuk melacak migrasinya, ternyata sedikit gambaran tentang dinamika hubungan populasi Bada- Behoa- Napu yang ada di Dataran Tinggi Lore. Kelompok ketiga bahasa ini menurutnya, memiliki kedekatan dengan bahasa Toraja, Bahasa Behoa berpisah dengan bahasa Toraja pada sekitar 3.000-2.500 tahun lalu, mungkin ini menandai proses migrasi awal awal ke Dataran Tinggi Lore. Kemudian, Tinggi Lore. Kemudian, di dataran ini bahasa Behoa terpisah dari Napu-Bada sekitar 1.000 tahun lalu, dan bahasa Bada terpisah dengan bahasa Napu Napu sebelum 500 tahun lalu. Pisah bahasa ini, mencerminkan adanya dinamika migrasi setempat yang belum banyak terungkap dalam kajian sebelum penelitian ini.

Lore dan Jaringan Budaya Megalitik

Dwi Yani juga menjelaskan, kesamaan unsur megalitik di Dataran Tinggi Lore dengan sejumlah situs di Indonesia maupun di luar Indonesia, adalah bukti adanya jaringan hubungan budaya dengan tempat-tempat tersebut.

Hasil analisis terhadap berbagai temuan dalam konteks megalitik Dataran Tinggi Lore juga membuktikan itu. Analisis gerabah menunjukkan dengan cukup jelas adanya pengaruh dari pusat-pusat gerabah Asia Tenggara. Gerabah di Dataran Tinggi Lore secara umum menunjukkan afiliasi yang cukup kuat dengan tradisi gerabah Bau Melayu yang lebih dominan di Asia Tenggara daratan. Meskipun demikian, unsur-unsur gerabah poles merah dan Sahuyn-Kalanay juga ada. Kompleksitas gerabah ini sekali lagi menunjukkan bahwa pendukung budaya megalitik Dataran Tinggi Lore berada dalam jejaring pertukaran informasi dan mungkin juga barang yang menghubungkan Asia Tenggara daratan dengan kepulauan. Hal ini semakin diperkuat dengan hasil analisis manik-manik di situs- situs megalitik Dataran Tinggi Lore, yang ternyata menunjukkan sebagai manik-manik Indo-Pasifik yang dipertukarkan secara luas, di samping juga temuan manik-manik karnelian yang umumnya dari India ata Thailand. Sebaliknya, motif hias wajah manusia pada kalamba, menunjukkan adanya pengaruh dari timur, karena menunjukkan cara penggambaran yang sama dengan di kepulauan Bismarck, Melanesia. motif wajah pada gerabah Lapita

Dengan adanya bukti-bukti yang disampaikan di atas kata dia, penelitian ini juga menunjukkan bagaimana sebenarnya kedudukan budaya megalitik di Dataran Tinggi Lore dalam konteks budaya prasejarah di Indonesia dan Asia Tenggara. Budaya megalitik Dataran Tinggi Lore merupakan bagian yang penting dalam jejaring pertukaran budaya di Indonesia maupun Asia Tenggara Daratan dan Kepulauan, Posisinya yang strategis dalam konstelasi geografis, berada di tengah Kepulauan Nusantara yang dekat dengan daratan Asia Tenggara, menyebabkan daerah tersebut menjadi persimpangan pengaruh antara budaya daratan Asia Tenggara di Barat dan Utara dan budaya kepulauan di Asia Tenggara (termasuk Taiwan) dan Melanesia di sebelah timur.

Sebagai situs megalitik yang termasuk tua di Nusantara, budaya megalitik Dataran Tinggi Lore menjadi batu loncatan (stepping stone) persebaran budaya megalitik di kawasan Kepulauan Asia Tenggara maupun Melanesia, terutama pada kurun waktu antara menjelang atau awal abad Masehi hingga sekitar abad ke-12 atau ke-13.

Pos terkait