PALU, MERCUSUAR – Kolaborasi antara pengetahuan lokal dan ilmu pengetahuan serta teknologi, menjadi model kesiapsiagaan bencana yang perlu dikembangkan oleh Kota Palu ke depan. Kolaborasi ini menjadi bentuk adaptasi terhadap bencana, yang harus menjadi resolusi, tiga tahun pascabencana 28 September 2018.
Demikian dikatakan antropolog Untad, Muh. Marzuki, pada kegiatan bertajuk Re-Calling The Resilient, Peringatan 3 Tahun Bencana Sulawesi Tengah, yang digagas oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Program Studi Antropologi Untad, serta Forum Sudut Pandang, Selasa (28/9/2021).
Pada kegiatan yang dilaksanakan secara luring dan daring ini, Marzuki mengatakan, model kesiapsiagaan yang harus dilakukan oleh Kota Palu ke depan, harus memadukan antara pengetahuan lokal tentang bencana, dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Menurutnya, nilai-nilai lokal terkait ketahanan bencana, dengan pendekatan masyarakat berbasis komunitas, juga dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi, jauh lebih kuat untuk dijadikan model kesiapsiagaan bencana ke depan.
“Misalnya konsep bangunan yang mengadopsi pengetahuan lokal dan teknologi terkait ketahanan bencana, kemudian model mitigasi bencana yang memadukan dua unsur pengetahuan ini, penting untuk didiseminasikan dalam kehidupan masyarakat,” ujarnya.
Hal yang juga kata dia menjadi penting adalah terkait ketahanan pangan menghadapi bencana, baik bencana alam maupun pandemi. Antropologi Untad kata dia, sedang melakukan kampanye kepada masyarakat, untuk menghidupkan kembali tradisi Gampiri atau lumbung, tidak hanya bangunannya, namun juga spiritnya sebagai model ketahanan pangan berbasis komunitas masyarakat.
“Dahulu, di setiap keluarga memiliki dua Gampiri, di halaman rumah dan di kebun. Hal ini yang bisa kita adopsi, sebagai model ketahanan pangan kita menghadapi bencana,” jelasnya.
Hal serupa juga diamini oleh Syarifah Aini Dalimunthe dari Pusat Riset Kependudukan BRIN. Menurutnya, kolaborasi pengetahuan lokal dan teknologi menjadi penting sebagai modal ketahanan bencana ke depan. Hal yang juga kata dia menjadi penting adalah pola kesiapsiagaan bencana yang mengadopsi kedua aspek tersebut.
Ketahanan Bencana Berbasis Kegotongroyongan
Sekretaris Jenderal SKP-HAM Sulteng, Nurlaela Lamasitudju, yang juga hadir sebagai pembicara dalam forum tersebut, mengurai kerja-kerja SKP-HAM sebagai salah satu komunitas masyarakat, dalam hal penanganan pascabencana dan juga membangun ketahanan bencana berbasis komunitas di desa-desa.
Menurut Ella, sapaan akrabnya, kultur masyarakat lokal yang lekat dengan aspek kegotongroyongan, diuji dengan bencana 28 September 2018. Hal ini kata dia, tidak melunturkan semangat kegotongroyongan, namun menjadi masalah baru, karena kerap tidak terkontrol.
“Hal ini menjadi potensi yang harus diarahkan, sehingga dapat dikanalisasi dan digerakkan menjadi sebuah kesiapsiagaan. Sehingga, ketahanan kita tidak hanya pada aspek pascabencana, tetapi pada aspek tanggap bencana,” jelasnya.
Penguatan ini kata dia, harus dimulai dari rumpun terkecil, yakni keluarga, lalu meluas ke masyarakat. Hal ini kata dia, adalah modal ketahanan bencana kita ke depan. JEF