Oleh: Jefrianto (Wartawan Mercusuar)
Kesehatan mental ternyata sangat berpengaruh terhadap imun seseorang, terutama di masa pandemi COVID-19 seperti saat ini. Gejala tidak sehat secara mental yang paling ringan adalah stress dan dalam kondisi stress, ada respon bertahan.
“Respon bertahan ini akan mencapai titik lelah. Pada titik lelah ini, mekanisme bertahan selesai dan virus/bakteri akan bebas merusak tubuh kita,” ujar Putu Ardika Yana, psikolog klinis di Palu, Selasa (24/8/2021).
Menurut Putu, ada tiga fase stress sebagai respon tubuh. Pertama, fase alarm di mana fungsinya memobilisasi sumber daya dalam tubuh: aktivasi sistem syaraf simpatik dan sistem endokrin (kelenjar adrenalin mengeluarkan hormon epineprin, norepineprin dan kortisol dalam aliran darah). Kedua, fase resisten, di mana tubuh beradaptasi dengan stressor dan lama-lama rentan akan “penyakit adaptasi”. Ketiga, fase lelah (exhaustion), yang memperlemah sistem kekebalan tubuh dan menghabiskan energi tubuh, sehingga mudah dihinggapi penyakit dan gangguan fisiologis, sampai kematian
Kata Putu, pengaruh kesehatan mental terhadap imun seseorang sangat tinggi. Itulah kata dia, yang menyebabkan dalam setiap pencegahan maupun pemulihan, harus selalu diupayakan agar tetap bahagia.
Konsultan di sejenakhening.com ini mengatakan, dari rerata masyarakat yang melakukan konsultasi soal kesehatan mental, sebagian besar mengeluh cemas, panik, dan tidak siap menerima kehilangan. Rata-rata mereka jadi gelisah dan juga menjadi over protective.
“Ada yang karena keluarganya terkonfirmasi COVID, ada yang tidak. Malah ada juga yang tidak ada keluarganya terkonfirmasi, tapi jadi stres sekali, karena melihat situasi dan perubahan pola hidup,” ujarnya.
Situasi pandemi kata Putu, memicu perasaan putus asa, sedih, marah, takut, kecewa, khawatir, yang memicu respon alami tubuh menyikapi situasi tidak normal tersebut, yakni jantung berdebar, dada sesak, lemas, mudah lelah, serta keringat dingin. Penolakan terhadap respon alami tersebut dengan mengatakan diri sehat, justeru malah membuat diri menjadi stres, dan membuat fisik dan imunitas terganggu.
“Perubahan kehidupan semua penuh ketidakpastian, memangnya apa yang pasti dalam hidup? Penolakan akan sakit dan ketidakpastian, menjadikan hidup penuh tekanan,” ujar Putu.
Untuk sehat secara emosi kata dia, ada tiga hal yang harus dilakukan, yakni menyadari emosi dan menamainya, menerima dan memahaminya, serta mengelola dan mengekspersikannya secara tepat. Menurutnya, kita kerap kali keliru memahami emosi, membagi emosi dalam dua sisi, positif dan negatif.
“Kalau sudah begitu, kerap tersungkur, lelah dan jatuh sakit, karena ketegangan menolak emosi yang dipandang negatif, berupaya untuk selalu positif. Karena sibuk menampilkan satu sisi emosi, kita menekan sisi emosi yang lain, yaitu emosi yang kita cap negatif itu, dan malah hanya akan tumbuh subur, menyakiti kita dengan cara terbaiknya. Lalu kita sakit, lelah, dan tak berasa menjadi diri sendiri,” ujarnya.
Untuk itu kata Putu, kita harus berupaya memahami dan mengontrol diri, dengan menyadari beberapa aspek. Pertama, saya percaya, pada dasarnya kita bukan hidup untuk itu. Kedua, emosi itu bukan negatif dan positif. Emosi adalah keseluruhan hidup kita sebagai manusia. Ketiga, hidup satu paket. Senang – sedih, tangis – tawa, sehat – sakit, derita – gembira. Keempat, kita hanya perlu berfungsi adaptif. Memahami emosi-emosi, dan menentukan respon atas emosi itu. Kelima, kita memiliki kontrol atas perilaku yang akan ditampilkan, atas perilaku yang akan diwujudkan.
“Ikhlas akan membuat kita lebih tenang. Ikhlas ini hanya mungkin tercapai, jika kesehatan mental baik. Memang manusiawi adalah ketika dalam situasi pandemi, ketika dalam situasi menekan begini, kita tertekan dan mengalami stres. Harusnya, kita saling mendukung untuk sama-sama melalui masa ini, bukan sama-sama mendukung supaya ‘sok’ positif thingking. Belakangan, fenomenanya adalah orang-orang keracunan positif thingking,” jelasnya
Dirinya mencontohkan, misalnya ada teman kita yang positif COVID, bahkan misalnya sampai meninggal dunia. Kita stres, sedih, tertekan dan cemas, apalagi kita misalnya kontak erat. Nah ketika kita curhat sama orang lain, orang lain biasa menjawab, ‘tidak boleh cemas, jangan sedih, sudah jalannya itu, ikhlaskan saja. apa juga dicemaskan, tenang saja, berpikir positif’. Respon-respon ini justru bukan respon membantu dan mendukung, ini justru respon tidak empati.
“Harusnya respon kita adalah mendukung dengan memvalidasi emosi tentang kehilangan, sehingga mereka yang merasa kehilangan, merasa punya teman berbagi, punya teman seiya sekata dalam duka. ketika itu terjadi, mereka tidak stres, tidak dalam mode bertahan, jadi lebih merasa kuat,” ujarnya.
Memvalidasi emosi menurut Putu, adalah dengan tidak menolak respon saat kita merasa sedih, kehilangan orang yang kita sayang, cemas, serta mengatasi kekhawatiran dengan belajar menghadapi kenyataan dan tidak terjebak dalam positif thinking bahwa semua akan baik-baik saja, padahal semu.
“Justru WHO sudah mengeluarkan pendapat, orang-orang yang berpikiran semu bahwa pandemi ini akan berakhir, justru akan mengalami gangguan kesehatan mental. Tidak apa-apa kalau tidak baik-baik saja. Sekarang sedang tidak baik, tapi kita punya pilihan untuk merasa baik-baik, jika bisa mengakui kenyataan,” ujarnya.
Pemerintah Kota Palu kata Putu, lewat program Membangun Ketangguhan Kesehatan Mental di Kota Palu, menempatkan psikolog klinis di sejumlah fasilitas kesehatan, seperti Puskesmas Sangurara dan Bulili, serta kader kelurahan di Kelurahan Balaroa dan Petobo. Program ini kata dia, bisa diakses oleh masyarakat yang mengalami stres akibat pandemi dan hendak berkonsultasi.
Selain itu kata Putu, dirinya mewakafkan diri setiap Sabtu, untuk berlatih memeluk diri, memeluk bumi dan saling memulihkan. Untuk informasi dan link pertemuan secara daringnya, bisa dilihat di Instagram rumahberbagiid.
“Ini untuk sama-sama baku kasih kuat, baku peluk dan baku kasih pulih diri. Layanannya gratis dan bebas terbuka bagi siapa saja,” ujarnya. ***