Ingatan tentang peristiwa bencana, memiliki peran penting dalam pembentukan kesiapsiagaan dalam menghadapi kemungkinan bencana yang akan terjadi selanjutnya. Ingatan tentang peristiwa bencana, membentuk identitas dan solidaritas masyarakat, dalam aspek ketahanan terhadap bencana.
Demikian dikatakan Kepala Pusat Riset Kependudukan pada Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Herry Yogaswara, pada sesi diskusi kedua, dalam rangkaian kegiatan bertajuk Re-Calling The Resilient, Peringatan 3 Tahun Bencana Sulawesi Tengah, yang digagas oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Program Studi Antropologi Untad, serta Forum Sudut Pandang, Selasa (28/9/2021).
Pada kegiatan yang dilaksanakan secara luring dan daring ini, Herry Yogaswara mengatakan, ingatan bersama tentang peristiwa bencana, dihadapkan pada dua sisi, yakni keinginan untuk mengingat dan melupakan. Keinginan untuk melupakan mungkin saja didasarkan pada kepiluan dan kehilangan yang dirasakan akibat bencana, sedangkan keinginan untuk mengingat, didasarkan pada keinginan untuk belajar dari sejarah, untuk membentuk kesiapsiagaan menghadapi bencana.
Ingatan bersama terkait peristiwa kebencanaan ini, menurut arkeolog Museum Negeri Sulteng, Iksam, menjadi kekuatan bagi masyarakat Kaili, dalam membentuk kesiapsiagaan bencana. Ingatan lokal ini kata dia, dapat berupa banyak hal, misalnya toponimi, yakni penamaan lokal terhadap sebuah kawasan.
“Misalnya Tondo, yang berarti kawasan tepian yang rawan longsor, Ombo yang berarti tanah yang cekung, Layana yang artinya genangan air, juga penamaan lainnya, yang bisa merujuk pada kondisi morfologi sebuah kawasan, di mana di antaranya berkonotasi dengan peristiwa kebencanaan,” ujarnya.
Referensi tentang ingatan lokal masyarakat Kaili terkait bencana kata dia, harus menjadi referensi bagi setiap satuan pendidikan. Hal ini kata dia, dalam upaya untuk membentuk ketahanan bencana berbasis masyarakat.
Memadukan Pengetahuan Lokal dan Modern
Pengetahuan lokal masyarakat Kaili tentang kebencanaan ini, perlu dijelaskan dengan pengetahuan modern. Menurut pengamat kebencanaan Untad, Abdullah, banyak peneliti yang kemudian melakukan kajian tentang aspek kebencanaan di Sulawesi Tengah, terutama kawasan Palu, Sigi, Donggala dan Parigi Moutong, pascabencana 28 September 2018 lalu.
“Bencana 28 September 2018 tergolong panca bencana, yakni gempabumi, tsunami, likuefaksi, penurunan muka tanah (downlift) dan longsor. Hal yang menarik, ketika foreshock (gempa awal) yang terjadi pada sore hari, 28 September 2018, menjadi alarm alami bagi sebagian masyarakat, misalnya di kawasan Pantai Barat Kabupaten Donggala, yang segera menjauhi pantai, sehingga ketika mainshock (gempa utama), jumlah korban bisa diminimalisir,” jelasnya.
Abdullah juga menjelaskan, ada 10-12 titik tsunami di Teluk Palu yang semakin hari semakin retak dan curam. Hal ini kata dia, jika dipicu oleh gempabumi, bisa menjadi potensi tsunami senyap, seperti yang terjadi di Banten pada 2018 silam.
“Ini bukan untuk menakut-nakuti warga, namun untuk membangun kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi risiko bencana, dan agar masyarakat lebih memahami tentang zonasi, berdasarkan tingkat kerawanan bencana. Tugas kita sebagai masyarakat untuk terus mengedukasi dan mengingatkan masyarakat, sebagai upaya pengurangan risiko bencana,” ujarnya.
Merawat Ingatan, Menuju Tangguh Bencana
Abdullah juga menyoal tentang pembelajaran pendidikan kebencanaan di tingkat satuan pendidikan, yang menurutnya tidak cukup hanya pada tataran kurikulum, namun juga menyiapkan tenaga pengajar yang benar-benar memahami kurikulum pendidikan kebencanaan tersebut. Pendidikan ini juga kata dia, dapat dilakukan dengan mempertahankan monumen-monumen kebencanaan yang ada di sekitar kita, misalnya oprit Jembatan IV Palu, masjid terapung, dan monumen lainnya, sebagai penanda dan untuk merawat ingatan kita agar selalu siap siaga dalam menghadapi bencana.
Ingatan tentang kebencanaan kata pegiat sinema dari Sinekoci, Sarah Adilah, penting untuk didokumentasikan, untuk merawat ingatan masyarakat tentang bencana. Menurutnya, dokumentasi, salah satunya lewat film, penting untuk merefleksikan memori bencana dan meresonansikan ingatan itu kepada generasi selanjutnya. JEF