TALISE, MERCUSUAR – Perhimpunan Bantuan Hukum Rakyat (PBHR) Provinsi Sulteng mengeluarkan pernyataan sikap mendukung upaya Pemerintah Kabupaten Buol menolak pembebasan lahan seluas 9.964 hektare, atas nama PT Hardaya Inti Plantation (HIP). Pembebasan lahan ini sendiri berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (SK Men LHK) RI Nomor: SK 517/MENLHK/SETJEN/PLA.2/II/2018 tentang Pelepasan dan Penetapan Batas Areal Pelepasan Kawasan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi untuk Perkebunan Kelapa Sawit, atas nama PT HIP.
Direktur PBHR Sulteng, Masita Asju, SH, Senin (7/1/2019) mengatakan, pihaknya mendukung upaya yang dilakukan Pemkab Buol untuk menolak pembebasan lahan tersebut. Menurutnya, apa yang dilakukan oleh kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dengan menerbitkan SK tersebut, bertentangan dengan Nawacita Presiden RI Joko Widodo, terkait pendistribusian lahan untuk kesejahteraan masyarakat.
Lanjut Masita, sebagai bentuk dukungan, PBHR Sulteng menyatakan siap berjuang bersama masyarakat dan Pemerintah Kabupaten Buol untuk menolak pembebasan lahan tersebut. PBHR Sulteng kata dia, siap melakukan pendampingan hukum, jika memang dibutuhkan oleh Pemkab Buol.
“Kami dan juga teman-teman jejaring lembaga yang peduli dengan lingkungan, terus berupaya untuk mendukung Pemkab. Kami juga akan membicarakan terkait kemungkinan membentuk forum khusus untuk mengadvokasi masalah ini,” jelasnya.
Sebelumnya, Kuasa Hukum Pemkab Buol, Amerullah SH menilai, terbitnya SK Menteri LHK) RI Nomor: SK 517/MENLHK/SETJEN/PLA.2/II/2018 tentang Pelepasan dan Penetapan Batas Areal Pelepasan Kawasan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi untuk Perkebunan Kelapa Sawit atas nama PT Hardaya Inti Plantation (HIP) di Kabupaten Buol seluas 9.964 hektare, merupakan alah satu instrumen hukum perusahaan guna mendapatkan Hak Guna Usaha (HGU).
Selain itu, SK Menteri LHK itu juga untuk ‘melindungi’ PT HIP dari jeratan hukum.
“Dari hasil temuan pemkab ditemukan fakta terdapat areal perkebunan berada di luar HGU seluas sekitar 5.190 hektare, terdiri hutan lindung (HL), hutan produksi terbatas (HPT), hutan produksi (HP), hutan produksi konversi (HPK) dan areal penggunaan lain,” ungkap Amerullah saat briefing media yang digagas Liga Mahasiswa Nasional Demokrasi (LMND) di salah satu kafe di Jalan Juanda, Kelurahan Lolu Utara, Kecamatan Palu Timur, Kota Palu, Jumat, (4/1/2019).
Selain itu, kata dia, ditemukan juga areal perkebunan sawit berada di luar izin HGU sekira 1.107,83 hektare. Areal itu berada dalam kawasan HP dan HPK serta belum dilakukan pelepasan.
Mencengangkan lagi, kata Amerullah, permohonan PT HIP tahun 2015 penetapan batas ulang àtas areal seluas sekira 10.028 hektare.
“PT HIP ingin melepas sanderaan status hukum, karena sebelumnya sudah berapa kali dilaporkan dan dianggap kementerian sebagai satu tindak pidana. Saat itu dilakukan pullbaket (pengumpulan bahan keterangan) dan gelar perkara,” katanya.
Kesimpulan pulbaket dan gelar perkara saat itu, sambungnya, harus ada tersangka. Namun pada akhirnya disimpulkan tidak ditemukan satu alat bukti dan bukan satu tindak pidana. “Inilah yang sangat mengherankan,” ujarnya.
Sebab nyata ada perbuatan melawan hukum (PMH), yakni melakukan satu aktifitas perkebunan di luar areal izin HGU. “Jadi berdasarkan analisis dan kajian fakta, tapi dimungkinkan persengkokolan penguasa dan kekuasaan ada pelanggaran nyata dan PMH, tapi dianggap biasa,” tandas Amerullah. JEF/AGK