PALU, MERCUSUAR – Pembangunan tanggul sebagai bagian dari proses pemulihan pesisir Teluk Palu, yang rencananya akan mulai dilakukan tahun ini, mendapat banyak tanggapan dari berbagai kalangan masyarakat. Pembangunan tanggul sepanjang 7,5 kilometer, yang membentang mulai dari Kelurahan Silae sampai kawasan penggaraman Pantai Talise ini, bagi sebagian kalangan, dianggap bukan merupakan solusi terbaik, untuk pemulihan kawasan pesisir Teluk Palu.
Kukuh Ramadhan misalnya, di mana pegiat seni media ini, pada diskusi Penataan Ruang Untuk Mitigasi Bencana yang dilaksanakan AJI Kota Palu, Kabar Sulteng Bangkit, dan Internews, di halaman Sekretariat AJI Kota Palu, Selasa (8/1/2018), menyampaikan, apakah pembangunan tanggul tersebut layak dan perlu dilakukan? Sedangkan menurut dia, pola pemulihan kawasan pesisir saat ini, cenderung kembali pada fase di mana manusia kembali kepada perlakuan alami terhadap lingkungan sekitarnya.
Hal yang sama juga menjadi pertanyaan Nasrun dari Ombudsman perwakilan Sulteng. Kata dia, sejak 2014, Ombudsman Sulteng konsen dengan isu penataan ruang, misalnya isu reklamasi Teluk Palu tahun 2014 yang diadvokasi oleh Ombudsman. Di RTRW Kota Palu sebelumnya kata dia, sudah disebutkan kawasan pantai Teluk Palu merupakan kawasan rawan bencana tsunami sedangkan di tingkat provinsi, kawasan pesisir Teluk Palu disebut sebagai kawasan lindung, namun tidak jelas pelaksanaannya.
Terkait pembangunan tanggul, Nasrun mempertanyakan terkait bagaimana soal akses publik untuk kawasan pantai nantinya Selain itu kata dia, pemerintah juga harus memperhatikan, di sepanjang Teluk Palu, sejumlah kawasan pesisir pantainya sudah memiliki sertifikat hak milik (SHM) maupun hak guna bangunan (HGB), lantas bagaimana pemerintah daerah menyikapi kenyataan ini?
“Intinya, sebaik apapun RTRW, jika implementasi tidak baik, maka percuma,” tegasnya.
Terkait hal tersebut, Kepala Dinas Bina Marga dan Penataan Ruang Provinsi Sulteng, Syaifullah Djafar menjelaskan, memang ada perencanan tanggul yang segera akan dibangun dan diharapkan dapat menyelesaikan masalah penurunan muka tanah di pesisir pantai atau yang dikenal dengan istilah downlift.
“Kita lihat di beberapa wilayah, ketinggian air laut di muka pantai naik, terutama di kawasan Teluk Palu dan jalur trans Pantai Barat Donggala. Ada juga perencanaan tanggul tsunami, namun bukan tanggul yang akan dibangun sekarang. Yang sekarang dibangun adalah tanggul pemecah ombak. Untuk tanggul tsunami, tidak dibayangkan seperti tanggul, tapi tanah yang ditinggikan kemudian ditanami rumput,” jelasnya.
Syaifullah Djafar juga menekankan, aspek penataan ruang meliputi aspek penyusunan, pengawasan dan penegakan aturan. Pihaknya berkeyakinan, setelah keadaan bencana ini dan dengan adanya konsep tata ruang yang benar, pasti akan ditaati.
“Sebelumnya, aspek ekonomi kita utamakan dalam penyusunan tata ruang, sedangkan aspek kebencanaan kita kesampingkan. Namun pasca bencana ini, aspek kebencanaan harus menjadi perhatian serius,” tekannya.
Masyarakat Sarankan Tanami Mangrove
Sementara itu, pengamat kebencanaan Untad, Drs Abdullah, MT mengatakan, dirinya setuju saja jika hanya tanggul pemecah ombak yang akan dibangun, karena selain mencegah abrasi, juga menambah estetika kawasan pesisir. Namun kata dia, faktor mitigasi harus diperhatikan dengan baik di kawasan pesisir, karena kawasan Teluk Palu dalam 91 tahun terakhr, sudah 3 kali dihantam tsunami, dan tidak pernah terjadi di daerah pesisir lainnya.
Untuk itu kata dia, kita harus membangun mitigasi baik dari konsep struktur maupun bangunan. Dirinya mencontohkan, kumpulan mangrove (bakau) yang tumbuh di kawasan Kabonga, Kabupaten Donggala, pada sat terjadi bencana nyatanya mampu meminimalisir korban jiwa dan kerusakan infrastruktur. Dirinya menganjurkan, konservasi kawasan pesisir sangat diperlukan, dengan melihat kawasan-kawasan mana saja yang dapat ditumbuhi mangrove. JEF