PALU, MERCUSUAR – Aliansi Sulteng Bergerak, merespon kasus penyegelan hunian sementara (Huntara) di Kelurahan Mamboro, Kecamatan Palu Utara, Kamis (16/5/2019). Koordinator Sulteng Bergerak, Adriansa Manu, melalui rilis persnya, Kamis (16/5/2019), mengeluarkan poin-poin pernyataan, merespon kasus tersebut.
Sulteng Bergerak menyebut, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahaan (PUPR) harus bertanggungjawab, atas penyegelan huntara yang dilakukan oleh pekerja dan kontraktor, yang mengerjakan huntara di Kelurahan Mamboro, tepatnya di belakang terminal Induk Mamboro, RT 2/RW 1. Penyegelan ini menurut pihak Sulteng Bergerak, merupakan rentetan keburukan pemerintah dalam penanggulangan bencana di Sulteng, sehingga pihaknya tidak menyalahkan tindakan para pekerja huntara, karena dianggap sebagai bentuk protes pekerja, yang tak kunjung dibayar pemerintah dalam pengerjaan huntara.
“Sehingga kami memandang, kesalahan terletak pada pemerintah melalui PUPR, sebagai pihak yang bertanggungjawab dalam pembangunan huntara,” jelas Adriansa Manu.
Menurut Adriansa, dengan tidak membayarkan upah pekerja, maka pemerintah telah menyalahi Undang-undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 1 ayat 30, pasal 91 ayat 2 dan pasal 88 ayat 1. Pemerintah juga kata dia, telah menyalahi UU Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, pasal 6 bagian b dan c serta pasal 26 ayat 1 bagian a dan ayat 2, di mana pemerintah sama sekali tidak memberi perlindungan, terhadap korban yang terdampak bencana.
Adriansa menyebut, jika huntara ini sampai dibongkar, maka ada sekitar 60 kepala keluarga (KK) yang tinggal di hunian sementara (huntara) di Kelurahan Mamboro, Kecamatan Palu Utara, akan terlantar. Sementara, pemerintah telah melepaskan tanggungjawabnya, untuk memberikan layanan pemenuhan dasar kepada korban, sejak tanggap darurat dinyatakan selesai.
“Padahal, fakta di lapangan, para penyintas masih butuh bantuan logistik sebagaimana mereka belum memiliki alternatif pekerjaan,” lanjutnya.
Hasil survey Sulteng Bergerak dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) tentang kondisi ekonomi dan pekerjaan para korban, pada Maret 2019 di Kota Palu, Kabupaten Sigi, Donggala dan Parigi Moutong menyebutkan, masih terdapat 68 persen penyintas, yang belum bekerja pasca gempa, tsunami dan likuifaksi. Survei ini kata Adriansa, dilakukan di 25 titik pengungsian, baik di huntara maupun yang masih tinggal di kamp-kamp darurat, dengan sampel 1000 responden.
“Artinya, korban bencana saat ini masih butuh pelayanan dasar pemerintah, hingga mereka benar-benar pulih secara ekonomi,” ujarnya.
Sulteng Bergerak menganggap, membiarkan mereka dengan ketiadaan pekerjaan, sama halnya negara sengaja menelantarkan korban.
Sulteng bergerak mendesak pemerintah pusat, melalui Kementerian PUPR, Pemerintah Daerah dan Pemerintah Kota Palu, agar merespon situasi korban bencana, yang saat ini terancam kehilangan huntara di Kelurahan Mamboro.
“Kami mendesak pemerintah pusat melalui Kementrerian PUPR agar segera membayarkan upah pekerja huntara, yang selama ini belum dibayarkan di seluruh PADAGIMO,” tegasnya.
Selain itu, pihaknya juga mendesak pemerintah untuk memberikan perlindungan sosial kepada para korban, yang selama ini masih hidup melarat di huntara, maupun mereka yang masih tinggal di pengungsian darurat. Pihaknya juga mendesak pemerintah, untuk mencari alternatif pekerjaan kepada semua korban, yang kehilangan pekerjaan pasca gempa bumi, tsunami dan likuifaksi di Sulteng. JEF/*