Peneliti Geosains dan Teknik Sipil dari Kanazawa University, Jepang, Prof. Miyajima Masakatsu memberikan penjelasan tentang fenomena likuefaksi dan kerusakan-kerusakan lainnya, yang disebabkan oleh gempa, serta langkah-langkah baru untuk mengatasinya. Hal tersebut disampaikannya pada kegiatan General Lecture Series Year III Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Tadulako yang bekerjasama dengan One Asia Foundation.
Kegiatan kuliah umum seri ke 7 ini dilaksanakan di Theater Room Media Center Universitas Tadulako, Kamis (24/10/2019), yang dihadiri oleh mahasiswa.
Prof Miyajima menjelaskan, likuefaksi tercatat sering terjadi pada beberapa gempa di negara lain selain di Indonesia, seperti Jepang, Selandia Baru, Cili dan lain-lain. Sebagai contoh kata dia, pada gempa yang terjadi di Hokkaido, Jepang, pada tahun 2018, likuefaksi terjadi dan menyebabkan kerusakan pada konstruksi bangunan, seperti rumah penduduk dan fasilitas publik, juga menyebabkan longsor dan pergerakantanah.
Menurutnya, ada tiga hal yang menjadi syarat terjadinya likuifaksi. Pertama, likuefaksi hanya terjadi pada tanah berpasir yang kondisinya lepas atau tidak padat. Kedua, muka air tanah yang dangkal, sehingga menyebabkan lapisan pasir tersebut jenuh air. Ketiga, adanya gempa dengan kekuatan yang cukup besar, sebagai pemicu terjadinya likuefaksi.
Kota Palu kata dia, mempunyai tiga persyaratan tersebut, sehingga menyebabkan Kota Palu menjadi sangat rawan terhadap likuefaksi. Kejadian gempabumi di Kota Palu pada 28 September 2018, membuktikan hal tersebut.
Pada gempa tersebut, likuefaksi masif terjadi di empat lokasi utama, yaitu Balaroa, Petobo, Jono Oge dan Sibalaya. Penyebab utama terjadinya likuefaksi pada empat lokasi tersebut adalah jenis tanah berpasir dan tingginya kandungan air tanah.
Likuefaksi menyebabkan pergerakan massa tanah pada arah horizontal sampai dengan sejauh 1,5 km. Pergerakan massa tanah ini selain menimbulkan kerusakan dan kerugian materil yang luar biasa besar, juga menyebabkan banyak korban jiwa. Khusus di daerah Sibalaya, terjadi fenomena yang cukup unik, di mana konstruksi jalan dan beberapa rumah penduduk mengalami pergeseran sejauh 350 m tanpa mengalami kerusakan yang berarti. Hal ini mengundang tanda tanya besar dan rasa ingin tahu para ahli gempa dan geoteknik seluruh dunia, untuk menyingkap mekanisme terjadinya fenomena tersebut.
Seringnya likuefaksi terjadi akhir-akhir ini, juga memotivasi para ahli untuk menemukan metode mengurangi dampak likuefaksi. Prof. Miyajima sendiri, melakukan beberapa eksperimen untuk mengurangi dampak likuefaksi.
Ada dua metode yang diusulkan Prof Miyajima. Pertama, dengan menggunakan batang kayu yang ditancapkan kedalam tanah di sekitar bangunan/rumah. Penggunaan batang kayu yang ditancapkan dalam tanah ini dapat mengurangi penurunan tanah dan bangunan, yang terjadi akibat likuefaksi. Metode ini dapat diterapkan pada bangunan yang sudah berdiri (eksisting building).
Selain itu, untuk bangunan yang baru akan dibangun, dapat digunakan lapisan geosintetik dan kerikil. Metode ini ditempatkan di bawah pondasi bangunan yang baru akan dibangun. Metode ini terbukti efektif mengurangi pergerakan tanah, baik horizontal maupun vertikal yang terjadi, akibat likuefaksi.
Kedua metode sederhana dan murah ini, diharapkan dapat diterapkan oleh penduduk Kota Palu, untuk mengurangi dampak likuefaksi, khususnya bagi mereka yang tinggal di daerah yang rawan terhadap likuefaksi. JEF/*