LOLU UTARA, MERCUSUAR – Trimedia group dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sulteng menggelar diskusi sekaligus sosialisasi Pedoman Pemberitaan Ramah Anak (PPRA), bertempat di Kantor PWI Sulteng, Sabtu (16/3/2019). PPRA ini dianggap penting diketahui oleh para pekerja media, demi menjamin hak-hak dan masa depan anak serta melindungi wartawan dari pidana terkait hak-hak anak.
Wakil Ketua PWI Sulteng Bidang Pendidikan, Temu Sutrisno menjelaskan, bertepatan dengan Hari Pers Nasional (HPN) 9 Februari 2019 lalu, Dewan Pers mengeluarkan Peraturan Dewan Pers Nomor : 1/PERATURAN-DP/II/2019 tentang Pedoman Pemberitaan Ramah Anak (PPRA). Pedoman tersebut disusun dengan tujuan untuk menjamin hak-hak dan masa depan anak, sekaligus dimaksudkan untuk melindungi wartawan dari pidana terkait hak-hak anak.
Dia melanjutkan, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU PA), yang telah diubah dengan UU Nomor 35 Tahun 2014 menyebut jurnalis bisa dipidana jika melanggar ketentuan Pasal 64 ayat (1) jo Pasal 59, dengan ancaman pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Temu melanjutkan, pemberitaan dengan penyebutan identitas anak yang berhadapan dengan hukum juga melanggar Pasal 19 ayat (1)Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Penyebutan identitas anak diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sebagaimana diatur dalam Pasal 97.
Olehnya, PPRA sebagai panduan teknis pemberitaan, berupaya mengakomodir beberapa perbedaan norma yang diatur dalam KUHP, UU PA, UU SPPA, Undang-Undang Administrasi Kependudukan, dan Kode Etik Jurnalistik. Perbedaan tersebut adalah dalam hal pengaturan usia anak. KUHP menetapkan batasan usia anak 16 tahun, Kode Etik Jurnalistik (16 tahun), UU Perlindungan anak (18 tahun), UU SPPA (18 tahun), dan Undang-Undang Administrasi Kependudukan (17 tahun). PPRA secara implisit menggunakan batasan usia anak 18 tahun, sebagaimana diatur dalam poin 12, bahwa dalam peradilan anak, wartawan menghormati ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
“PPRA tidak menegasikan atau menggugurkan Kode Etik Jurnalistik (KEJ), namun justru lebih menguatkan, PPRA ini ibaratnya rambu-rambu bagi wartawan agar tidak melakukan pelanggaran” jelasnya.
Terkait pemberitaan anak, KEJ mengatur pada poin 5, bahwa wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan. Terkait hal yang sama, PPRA mengatur lebih terperinci bukan hanya identitas korban dan pelaku, namun juga hal-hal lain yang berkaitan dengan anak sebagai korban, saksi, dan/atau pelaku pelanggaran hukum.
Identitas Anak yang dilindungi, lanjut Temu yakni semua data dan informasi yang menyangkut anak yang memudahkan orang lain untuk mengetahui anak seperti nama, foto, gambar, nama saudara kandung, orangtua, paman/bibi, kakek/nenek, dan keterangan pendukung seperti alamat rumah, alamat desa, sekolah, perkumpulan yang diikuti, dan benda-benda khusus yang mencirikan sang anak.
Ada 12 poin PPRA yang telah ditetapkan Dewan Pers, diantaranya adalah wartawan merahasiakan identitas anak dalam memberikan informasi tentang anak, khususnya yang diduga, disangka, didakwa melakukan pelanggaran hukum atau dipidana atas kejahatannya.
Diskusi itu itu diikuti sejumlah perwakilan dari beberapa media, serta perwakilan dari mahasiswa. AMR
12 Poin Pedoman Pemberitaan Ramah Anak (PPRA) yang dikeluarkan Dewan Pers
1 |
wartawan merahasiakan identitas anak dalam memberikan informasi tentang anak, khususnya yang diduga, disangka, didakwa melakukan pelanggaran hukum atau dipidana atas kejahatannya.
|
2 |
wartawan memberitakan secara faktual dengan kalimat/narasi/visual/audio yang bernuansa positif, empati, dan/atau tidak membuat deskripsi/rekonstruksi peristiwa yang bersifat seksual dan sadistis.
|
3 |
Wartawan tidak mencari atau menggali informasi mengenai hal-hal di luar kapasitas anak untuk menjawabnya seperti peristiwa kematian, perceraian, perselingkuhan orang tuanya dan/atau keluarga, serta kekerasan atau kejahatan, konflik dan bencana yang menimbulkan dampak traumatik.
|
4 |
Wartawan dapat mengambil visual untuk melengkapi informasi tentang peristiwa anak terkait persoalan hukum, namun tidak menyiarkan visual dan audio identitas atau asosiasi identitas anak.
|
5 |
Wartawan dalam membuat berita yang bernuansa positif, prestasi, atau pencapaian mempertimbangkan dampak psikologis anak dan efek negatif pemberitaan yang berlebihan.
|
6 |
Wartawan tidak menggali informasinya dan tidak memberitakan keberadaan anak yang berada dalam perlindungan LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban).
|
7 |
Wartawan tidak mewawancarai saksi anak dalam kasus yang pelaku kejahatannya belum ditangkap/ditahan.
|
8 |
Wartawan menghindari pengungkapan identitas pelaku kejahatan seksual yang mengaitkan hubungan darah/keluarga antara korban anak dan pelaku. Apabila identitas sudah diberitakan, maka wartawan segera menghentikan pengungkapan identitas anak. Khusus untuk media siber, berita yang menyebutkan identitas dan sudah dimuat, di edit ulang agar identitas anak tersebut tidak terungkap.
|
9 |
Dalam hal berita anak hilang atau disandera diperbolehkan mengungkapkan identitas anak tapi apabila kemudian diketahui keberadaannya, maka dalam pemberitaan berikutnya segala identitas anak tidak boleh dipublikasikan dan pemberitaan sebelumnya dihapus.
|
10 |
Wartawan tidak memberitakan identitas anak yang dilibatkan oleh orang dewasa dalam kegiatan yang terkait politik dan yang mengandung SARA.
|
11 |
Wartawan tidak memberitakan tentang anak dengan menggunakan materi (video/foto/status/audio) semata-mata hanya dari media sosial.
|
12 |
Dalam peradilan anak, wartawan menghormati ketentuan dalam UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).
|