PALU, MERCUSUAR – Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS mencatat angka perkawinan usia anak atau pernikahan dini di Sulteng masih diatas rata-rata nasional, yakni 15,8 persen.
“Rata-rata angka perkawinan usia anak secara nasional 11,2 persen, Sulawesi Tengah masih di atas ini terjadi sebelum dan sesudah bencana,” kata Direktur Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda dan Olahraga BAPPENAS, Woro Srihastuti Sulistyaninggrum di Hotel Santika Palu, Selasa (25/6/2019).
Menurutnya, masalah perkawinan usia anak atau pernikahan dini masih menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dan bukan hanya menjadi tanggung jawab satu sektor, perlu pendekatan secara koperehensif dan keterlibatan semua pihak.
Apalagi pascabencana resiko terjadinya pernikahan usia anak semakin besar jika tidak dilakukan penanganan secara sigap dan tepat.
Dia menyebut bahwa BAPPNAS bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak saat ini sedang menyusun strategi nasional pencegahan pernikahan usia anak yang diharapkan mendapat masukan dan saran dari pemerintah daerah yang masih mengalami kerentanan. “Kami sangat berharap bisa membangun kerja sama dengan pemerintah daerah, karena dampak ditimbulkan dari pernikahan dini akan berpengaruh terhadap kesehatan reproduksi, kekerasan dalam rumah tangga, kematian ibu dan bayi termasuk ekonomi,” tambahnya.
Selain itu, berdasarkan kajian indeks pembangunan pemuda menurut BAPPENAS, Sulteng berada diurutan 23 dari 34 provinsi di tanah air, artinya masih jauh dibawah daerah maju lainnya.
Dijelaskan, tolak ukur indeks pembangunan pemuda dilihat dari lima domain, diantaranya pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan, lapangan dan kesempatan kerja, partisipasi dan kepemimpinan serta gender dan diskriminasi. “Dari lima domain yang paling krusil terjadi di Sulawesi Tengah Masalah gender dan diskriminasi. penyumbang terbesar domain gender dan diskriminasi adalah perkawinan usia anak,” ungkap Srihastuti
BAPPENAS menilai, kekerasan terhadap anak, pelecehan seksual, gender dan diskriminasi menjadi isu sentral untuk segera diselesaikan agar kelompok-kelompok rentan bisa hidup layak. “Penyelesaian masalah ini menjadi tugas bersama baik pemerintah, lembaga hingga pemangku kepentingan di Sulawesi Tengah. Bagaimana perempuan bisa bekerja di sektor formal pascabencana,” kata Srihastuti.
PERKAWINAN ANAK DI INDONESIA LEBIH RENDAH
Sementara itu, Yayasan PLAN Internasional Indonesia (YPII) mengklaim perkawinan anak di Indonesia lebih rendah 59 persen dibandingkan negara lain, disebabkan faktor ekonomi.
Demikian dikatakan Program Direktur YPPI, Dwi Rahayu Juliawati.
Dikatakan Dwi, pihaknya mempunyai program lain diluar yang bisa direplikasikan Sulteng, yakni pencegahan perkawinan anak melalui literasi keuangan remaja, keluarga dan juga komponen pemberdayaan masyarakat terlibat dalam KPPAI.
“Program ini telah berhasil diterapkan di Kabupaten Lombok dan akan diupayakan diterapkan di Sulteng, ” Kata Dwi.
Kemudian, kata dia, dengan mengikut sertakan orangtua, karena dari studi yang dilakukan ada peran orangtua yang permisif (membolehkan) adanya perkawinan anak.
Menurut Dwi, PLAN memiliki piranti indeks penerimaan ‘charlie married’. Indonesia, katanya, merupakan negara yang unik, karena paling tinggi Indeks penerimaan ‘charlie married’nya diantara negara lain, seperti Pakistan, Bangladesh dan sebagian negara Etopia dan Amerika.
Namun, sambungnya, jika dibandingkan dengan Negara-negara tersebut, maka perkawinan anak di Indonesia lebih rendah, karena faktor ekonomi. “59 persen perkawinan anak terjadi dikalangan keluarga dengan ekonomi yang rendah,” katanya.
Olehnya, perlu meningkatkan daya lenting atau daya tahan keluarga setelah melatih komunitasnya melalui program pemulihan. AGK