Polda Sulteng Didesak Tutup Aktivitas Tambang Kayuboko

HLL

PALU, MERCUSUAR – Pengurus Daerah (PD) Lingkar Studi Aksi dan Demokrasi Indonesia (LS-ADI) Parigi Moutong (Parimo) menggelar aksi  unjuk rasa terkait tambang ilegal Kayuboko, di depan Kantor DPRD Sulawesi Tengah (Sulteng) dan berlanjut di depan Polda Sulteng, Rabu (22/7/2020). Aksi unjuk rasa itu melayangkan dua tuntutan, yaitu tutup total aktivitas pertambangan Kayuboko dan tangkap serta adili terduga Koh JF dan oknum lainnya, di balik tambang ilegal Kayuboko. 

Demo itu bermula dari kekecewaan massa aksi, karena aksi sebelumnya yang digelar di depan Kantor DPRD Parigi Moutong, tidak diindahkan oleh anggota DPRD setempat. Merespon hal itu, mereka kembali menggelar aksi di DPRD Provinsi Sulteng. 

Koordinator lapangan (Korlap) aksi, Alfat Dirgantara mengatakan, pertambangan emas secara besar-besaran dan terang-terangan di Kayuboko dengan menggunakan  alat berat, bisa dipastikan merupakan praktik ilegal mining. Terbukti tidak adanya satupun dokumen, baik terkait Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau Izin Pertambangan Rakyat (IPR), maupun Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), yang diterbitkan oleh pemerintah.

“Selain itu, merujuk pada dokumen RT/RW yang ada, kawasan tersebut bukanlah kawasan yang peruntukannya untuk pertambangan, melainkan sebagai pertanian kering dan sebagai kawasan perkebunan,” tegas Dirga dalam orasinya.

Ia menilai, aktivitas pertambangan emas di Kayuboko telah melanggar Pasal 158 Undang-undang nomor 3 tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Selain itu aktivitas pertambangan emas tersebut juga melanggar Undang-Undang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, serta Undang-undang nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Kapolda mendelegasikan Wadir Krimsus, Sirajuddin Ramly, menemui massa aksi. Namun, massa aksi merasa, penjelasan Wadir Krimsus tidak memberikan kejelasan soal tambang ilegal Kayuboko. 

“Kami merasa kecewa terhadap pihak Kapolda, yang mana hanya mendelegasikan anggotanya yang tidak memberikan pendapat, terkait apa yang kami suarakan di depan Polda Sulteng. Padahal anggota yang didelegasikan menemui kami sebagai massa aksi, adalah mantan Kapolres Parigi Moutong. Tetapi dia tidak memberikan penjelasan lebih jelas terkait aktivitas tambang ilegal Kayuboko, yang sampai saat ini belum ada kejelasan hukumnya,” keluh Dirga. 

Senada dengan hal itu, Ketua PD LS-ADI Parigi Moutong, Idrus, mengungkap banyaknya temuan kerusakan dan kerugian yang dialami masyarakat, di beberapa tempat akibat aktivitas tambang, di antaranya aliran sungai di wilayah Desa Olaya terlihat keruh dan terdapat sedimen baru berupa lumpur, dengan ketebalan antara 50 cm sampai dengan 90 cm, di sepanjang pesisir pantai Desa Olaya dan Desa Pombalowo. 

“Lumpur tersebut akibat limbah tambang, ditambah lagi adanya pencemaran air sungai, yang menyebabkan masyarakat tidak dapat memanfaatkan air sungai untuk kebutuhan mandi, cuci dan minum ternak,” kata Idrus.

Menurutnya banjir yang terjadi beberapa waktu lalu, diduga akibat dari aktivitas tambang ilegal Kayuboko. Selain itu, kebun dan pekarangan di sepanjang aliran sungai perbatasan Desa Air Panas dengan Desa Kayuboko rusak, akibat luapan banjir yang bercampur dengan lumpur tambang tersebut.

Idrus mengatakan, terus beroperasinya tambang emas ilegal di Kayuboko, menimbulkan pertanyaan besar terkait integritas dari pemerintah, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif. 

“Aparat terkesan tutup mata dan mulut, sehingga tidak melakukan langkah hukum apapun terkait beroperasinya PETI di Kayuboko ini. Begitupun pihak penegakkan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang terkesan kedap suara,” jelasnya. */JEF

Pos terkait