PALU, MERCUSUAR – Telah sering terjadi dalam sistem peradilan di Indonesia yang keputusan hakim lebih menunjukan keberpihakannya kepada korporat dibandingkan rakyat. Demikian rilis yang ditulis oleh beberapa organisasi solidaritas Petani Polanto Jaya, saat berunjuk rasa di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sulteng, Jalan Sam Ratulangi, Selasa (24/4/2018).
Puluhan massa aksi solidaritas yang berunjuk rasa itu, diantaranya organisasi pegiat lingkungan, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) yang menuntut agar kriminalisasi Petani Polanto Jaya dihentikan. Salah seorang anggota aksi bernama Abdi, mengemukakan munculnya kiasan ‘hukum tumpul ke atas, tajam ke bawah’ tidak lain karena hukum tidak pernah berlaku adil bagi rakyat kecil. Tidak tanggung-tanggung, keputusan hakim tersebut, petani kerap berakhir di balik jeruji.
“Petani Polanto Jaya sedang berada pada suatu titik yang paling menentukan, apakah akan terbebas dari kriminalisasi atau dijebloskan penjara,” tegasnya.
Berdasarkan hasil advis mereka ungkap Wisnu, kriminalisasi yang menimpa 4 petani yang dituduhkan melakukan pencurian kelapa sawit milik PT. Mamuang anak Perusahaan Astra Group. Padahal dalam sejarahnya, warga Polanto Jaya secara sah memiliki hak atas tanah yang dibuktikan dengan sertifikat hak milik, SKPT, dan bukti penguasaan lainnya yang saat ini dikuasai oleh PT. Mamuang seluas 42 hektar.
“Tuduhan yang dilayangkan kepada petani sangat tidak masuk akal. 4 orang bisa memetik buah sawit dan mengangkat sampai ke pinggir jalan,” kata Abdi.
Menurutnya, apakah mungkin dalam waktu yang begitu singkat 4 orang petani bisa mengangkut sawit dengan jumlah 2. 830 kilo gram. Jaksa penuntut umum tidak menjelaskan sejak kapan 4 orang memanen dan diketahui oleh security sekitar pukul 09. 00 Wita dengan rata – rata berat satu tandan buah segar seberat 15 kg.
“Sekali lagi kita akan melihat apakah hukum yang berlaku berpihak ke rakyat atau korporat,” bebernya.
Tentunya lanjut Abdi, tanggal 24 April 2018 mereka tidak menginginkan kiasan berlaku di Pengadilan Negeri (PN) Pasang Kayu, Kabupaten Mamuju Utara, Sulawesi Barat. Mereka mendesak supaya petani yang kebanyakan berasal dari wilayah Sulteng harus segera dibebaskan, serta PT. Mamuang Astra tidak lagi melakukan bisnis kriminalisasi yang menyasar petani – petani kecil.
Sementara itu dilansir dari salah satu media online, Walhi Sulteng yang selama ini melakukan pendampingan menggelar aksi bertajuk ‘Panggung Rakyat Kami’ di depan kantor DPRD Provinsi Sulteng ini dikemas dalam bentuk drama teatrikal dengan tema ‘Solidaritas Rakyat Untuk Petani Polanto Jaya’ dengan tujuan memprotes keputusan majelis hakim yang dianggap tidak tepat terhadap 4 petani Desa Polanto Jaya itu.
“Ada sekitar 80-an orang yang akan terlibat dalam drama teatrikal,” ujar Koko.
Ia menyebutkan, sekalipun nantinya pengadilan memutuskan (bebas) atas perkara tuduhan pencurian tersebut, ia meyakini bahwa group meyakini Group PT AAL itu masih akan tetap melakukan upaya-upaya kriminalisasi terhadap masyarakat petani.
Divisi Kampanye Walhi Sulteng, Koko menuturkan, pada tahun 2009 Pemerintah, melalui Kementerian Pertanian menerapkan suatu rumusan baru soal perkebunan kelapa sawit di Indonesia, yakni Indonesian Sustainable Palm Oil System (ISPO), yang bertujuan untuk meningkatkan daya saing minyak kepala sawit Indonesia dalam pasar global dan ikut berpartisipasi dalam komitmen bersama Presiden Republik Indonesia soal mengurangi Efek Rumah Kaca, serta memberi perhatian terhadap lingkungan, Hak Asasi Manusia.
Dalam ISPO sendiri, terdapat standarisasi yang telah ditetapkan oleh pemerintah khususnya dalam Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit. Misalnya proses pembukaan lahan baru, pembuatan sarana jalan, terasering serta rorak yang tertuang dalam aturan ISPO.
Namun sekalipun telah disusun sedemikan rupa, bila melihat fakta-fakta yang ada, justru ISPO yang merupakan aturan baku dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia, sering dilalaikan oleh perusahaan-perusahaan sawit di Indonesia, termasuk yang dilakukan group AAL.
Bahkan menurut Koko, ISPO adalah produk pemerintah yang gagal karena negara masih sangat kompromi terhadap pemodal.
“Ini adalah tanggungjawab kami dan harus terus kita kawal termasuk mendampingi para petani untuk mendapatkan hak-haknya,” tegasnya
Pada waktu bersamaan, ratusan petani yang menamakan diri “Persatuan Petani Polanto Jaya” menggelar unjuk rasa di depan PN Pasang Kayu, Provinsi Sulbar pada Selasa (24/4/2018) sekira Pukul 09.00 Wita.
Aksi ratusan petani ini untuk menuntut agar Majelis Hakim membebaskan kawan mereka yakni empat petani desa Polanto Jaya, kecamatan Rio Pakava, Kabupaten Donggala, yang ditangkap atas tuduhan mencuri buah sawit di lahan PT Mamuang, Group Astra Agro Lestari (AAL).
“Sedikitnya ada 500 petani yang akan menggelar aksi demo pagi ini. Mereka hanya berharap agar majelis hakim bertindak adil terhadap empat petani tersebut,” tandasnya. BOB