PW Muhammaiyah Sultng , RUU HIP Harus Dicabut dari Prolegnas

Amin Parakkasi

PALU, MERCUSUAR – Pimpinan Wilayah (PW) Muhammadiyah mengeluarkan pernyataan resmi terkait Rancangan Undang-undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP).

Sekretaris PW Muhammadiyah Sulteng, Amin Parakkasi, dalam siaran persnya, Rabu (15/7/2020), menyebutkan bahwa pihaknya secara umum mendukung pernyataan pers PP Muhammadiyah dan Maklumat Dewan Pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, untuk menolak pembahasan RUU HIP oleh DPR RI.

“Sikap ini berdasarkan hasil pembahasan tim kajian RUU HIP di tingkat PW Muhammadiyah Sulteng, serta hasil rapat pimpinan Muhammadiyah Sulteng,” kata Amin.

PW Muhammadiyah Sulteng menuntut pembatalan dan pencabutan RUU HIP dari Prolegnas, karena dianggap tidak memiliki urgensi untuk ditetapkan menjadi Undang-Undang, dengan berbagai alasan. Diantara alasan-alasan yang dicantumkan, adalah bahwa penamaan RUU HIP telah mereduksi atau mengurangi nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi menjadi lebih sempit  secara pragmatis.

Selain itu, substansi RUU HIP dinilai bertentangan dengan UUD 1945, karena selain mereduksi rumusan Pancasila juga memberi tafsir baru terhadap ciri-ciri Pancasila, sebagaimanan tercantum dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945. “Hal itu tampak dari adanya frasa Trisila dan Ekasila, serta frasa ketuhanan yang berkebudayaan dalam Pasal 7 RUU HIP,” jelasnya.

Lanjut Amin, frasa Trisila dan Ekasila dalam RUU HIP menurut PW Muhammadiyah Sulteng menegasikan visi dan misi Negara RI yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, yang mencakup kepentingan seluruh rakyat Indonesia, tanpa melihat afiliasi Parpol atau golongan tertentu yang hidup dan berkembang di Indonesia.

Selain itu, PW Muhammadiyah Sulteng menilai RUU HIP tidak hanya terkesan mendikotomikan antara Masyarakat Pancasila dengan Negara Indonesia berdasarkan Pancasila, tetapi juga berlebihan bahkan rancu dalam menggambarkan Masyarakat Pancasila.

Pada Pasal 1 angka 10 (Ketentuan Umum) telah memberi batasan pengertian tentang Masyarakat Pancasila. Lalu, dalam Pasal 8 dan Pasal 9 juga terdapat rumusan tentang tata Masyarakat Pancasila dan kandungan unsur-unsur pokok tata Masyarakat Pancasila.

Olehnya itu, PW Muhammadiyah Sulteng menilai penginisiatif RUU HIP terkesan menyalahi asas kejelasan tujuan dan kejelasan rumusan dalam menyusun RUU HIP, yakni UU Nomor12 Tahun 2011 Pasal 5 huruf a dan f tentang Pembentukan  Peraturan Perundang-Undangan.

Selain itu, salah satu ciri tata Masyarakat Pancasila yang digambarkan dalam Pasal 8 RUU HIP adalah taat dan sadar hukum. Harapan (das sollen) untuk mewujudkan hal itu menurut PW Muhammadiyah Sulteng sulit diwujudkan, karena masih banyak pejabat negara yang tidak bisa menjadi teladan, bukan bertipe Imamun adilun (pemimpin yang adil). “Kini dan ke depan, kita harus siap menerima predikat sebagai tata Masyarakat yang tidak Pancasila.  Jadi, penginisiatif RUU HIP lagi-lagi terkesan menyalahi asas pembentukan peraturan perundang-undangan (asas dapat dilaksanakan) UU No.12 tahun 2011 pasal 5 huruf d tentang Pembentukan  Peraturan Perundang-undangan,” katanya lagi.

PW Muhammadiyah Sulteng juga menegaskan bahwa RUU HIP seharusnya tidak lagi memiliki landasan sosiologis. Sebab sudah banyak organisasi kemasyarakatan yang menyampaikan pernyataan sikap menolak RUU HIP, sebagaimana lampiran UU Nomor: 12 Tahun 2011 nomor 4.B. IEA/*

Pos terkait