Refleksi Lahirnya Pancasila, Kohati Palu Bahas Peran Perempuan

FB_IMG_1623591226383
KOHATI Cabang Palu melaksanakan webinar yang bertemakan refleksi hari lahir pancasila, sebuah catatan otokritik menjadi peluang atau tantangan bagi perempuan milenial, kamis (10/6/2021)

PALU, MERCUSUAR – Kohati Cabang Palu melaksanakan webinar yang ber-temakan refleksi hari lahir pancasila, sebuah catatan otokritik menjadi peluang atau tantangan bagi perempuan milenial, kamis (10/6/2021).

Tema yang di angkat dalam materi tersebut merupakan ungkapan dari keresahan kohati cabang Palu terkait permasalahan perempuan di kota Palu khususnya dan perempuan pada umumnya, sehingga dilakukan diskusi oleh tiga narasumber perempuan. Mereka adalah Halima selaku komisioner KPU Provinsi Sulteng, Dewi Rana selaku ketua Libu Perempuan Sulteng, dan Kartini Nainggola selaku wartawan harian Mercusuar.

Ketiga narasumber ini mengulas beberapa materi penting seperti kesadaran politik bagi kaum perempuan untuk mewujudkan generasi pancasi, membangun karakter pancasila pada perempuan milenial, aspek kemunduran pada perempuan milenial dari waktu ke waktu, dan peranan media dalam membangun generasi pancasila saat ini. Merupakan poin yang sangat menguatkan bagi para generasi muda seperti apa nantinya para perempuan atau anak muda dapat melakukan trobosan bagi bangsa.

Disampaikan oleh ketua Libu perempuan, Dewi Rana mengungkapkan bahwa generasi muda harus memiliki sensitifitas agar dapat memiliki gerakan yang akan menghasilkan perubahan.

Pancasila merupakan butiran nilai-nilai yang harus di amalkan oleh para generasi muda agar nantinya Indonesia dapat menjadi negara yang kuat dan bangkit dari keterpurukan. Jika dahulunya para pahlawan harus melawan para penjajah agar dapat membela tanah air agar generasinya dapat hidup dengan sebaik-baiknya, tetapi pada generasi muda saat ini kita di hadapkan pada permasalah dirinya sendiri.

Menurutnya, bangkit dari kemalasan mulai melakukan terobosan dan berani mengambil keputusan merupakan salah satu perjuangan yang perlu di lakukan oleh anak muda. Tetapi sayangnya yang terjadi ialah anak muda terlalu terbuai oleh adanya teknologi sehingga dunia yang seharusnya menjadi tempat untuk belajar dan melakukan gerakan-gerakan hanya sedikit yang dapat melakukannya.

Sementara itu, Kartini Nainggola mengatakan bahwa 51 persen orang berusia 18 hingga 24 tahun percaya bahwa sosial media lebih cepat menyajikan informasi terkini di dunia di bandingkan media tradisional, sehingga memiliki dampak positif dan negatif.

Dampak positifnya kata Kartini, masyarakat akan mengetahui permasalah atau kejadian yang menimpa seseorang pada saat itu, mempermudah transaksi dalam pembeliaan atau pembayaran non tunai sehingga seseorang tidak perlu mengantri lagi.

Tetapi ibarat dua mata pisau media juga memiliki dampak negatif yaitu banyaknya berita hoax yang tersebar sehingga masyarakat tidak dapat membedakan mana berita yang sebenarnya dan mana yang hoks. Maka, Kartini berpesan bahwa kekuatan anak muda saat ini dalam bermedia sosial adalah saring sebelum shering.

“ini menyadarkan kepada kita bahwa berita yang kita ketahui haruslah diketahui kebenarannya sebelum kita bagikan kepada orang lain, karena berita yang salah dapat membuat keresahan bahkan fitnah bagi oknum yang tidak bersalah. Sehingga, nantinya dapat membuat para penyebar hoax tidak merajalela dan memberika rasa nyaman bagi para pengguna media masa,” ujarnya.

Menurutnya, generasi yang sudah melek informasi membuat sesuatunya menjadi lebih instan, suka dengan yang serba cepat dan instan, multitasking, kritis terhadap fenomena sosail dan dikit-dikit posting menjadi hal yang sering dilakukan oleh generasi muda saat ini.

Dari kacamata Halima selaku komisioner KPU Provinsi Sulteng mengungkapkan bahwa politik bukanlah sesuai yang harus di takuti atau di anggap tidak baik oleh generasi muda saat ini, karena Politik itu adalah cara untuk mencapai sesuatu.

“kita perlu pahami dalam hal ini politik seperti apa yang akan di lakukan oleh generasi muda khususnya perempuan agar bisa mewujudkan cita-cita yang diinginkan. Politik jangan hanya dianggap dilakukan oleh para pelaku potikus saja tetapi hal-hal yang di anggap sebagai cara untuk mencapai sesuatu dapat di katakan sebagai potik,” ujarnya.

Di era milenial saat ini kata dia, menjadi peluang sekaligus tantangan bagi generasi muda untuk melakukan hal-hal yang lebih baik. Cara yang di anggap instan dan kepalsuan di media sosial sudah di anggap lumrah. Maka, menjadikan generasi muda terpengaruh oleh media dan sulit membedakan mana kenyataan yang sebenarnya.*/TIN

Pos terkait