Rocky Gerung dan Budiman Sudjatmiko Membedah Oligarki

YTM - Copy

PALU, MERCUSUAR – Celebes Institute, Yayasan Tanah Merdeka (YTM) dan Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Sulawesi Tengah (Sulteng) melaksanakan bedah buku berjudul Oligarki: Teori dan Kritik, bertempat di salah satu hotel di Kota Palu, Rabu (11/3/2020). Buku terbitan Marjin Kiri bekerjasama dengan IndoProgress tersebut, dieditori oleh Abdil Mughis Mudhoffir dan Coen Husain Pontoh. 

Buku setebal 291 halaman ini, merupakan buku kumpulan tulisan dari sejumlah penulis, seperti Abdil Mughis Mudhoffir, Arianto Sangadji, Coen Husain Pontoh, Geger Riyanto, Intan Suwandi, Johannes Danang Widoyoko, Made Supriatma, Muhammad Ridha, Robertus Robet.

Bedah buku tersebut menghadirkan salah seorang penulis dalam buku tersebut, Arianto Sangadji dan dua pembahas, masing-masing Budiman Sudjatmiko dan Rocky Gerung, dengan M. Rasyidi Bakri sebagai moderator. Kegiatan ini dihadiri mahasiswa, akademisi, aktivis, politisi dan masyarakat umum.

Arianto Sangadji, dalam pemaparannya menjelaskan, buku ini telah disiapkan dalam dua tahun terakhir, oleh beberapa kawannya, yang tengah mengambil program doktoral di berbagai negara. Menurut dia, gagasan tentang oligarki dalam 10 tahun terakhir, menjadi percakapan yang luas sekali.

“Buku ini melihat secara kritis perdebatan teoritik tentang oligarki,” paparnya.

Dia mengatakan, ada beberapa kajian sebelumnya tentang oligarki di Indonesia, seperti Richard Robinson tentang politik oligarki di zaman pasar, kumpulan paper dari Cornell University tentang oligarki dalam politik Indonesia, yang dibukukan dengan judul Beyond Oligarchy, serta karya Jefrrey A Witers, yang mengambil sampel beberapa negara, dan fase oligarki pada masa lebih lama.

Dalam buku tersebut, Anto, sapaan akrabnya, menulis tentang orang miskin dan politik. Dalam tulisan tersebut, dirinya melihat konsep oligarki yang selama ini dipercakapkan, baik teoritis maupun empiris, kehilangan aspek analitis.

Ia mengatakan, ada aspek kelas yang hilang dari analisa kita selama ini, yakni aspek ‘people’. Demokrasi dalam kacamata yang kita pahami kata dia, adalah pemerintahan oleh rakyat. Namun, jika kita baca kritis, demokrasi berkaitan dengan subjeknya, yakni orang miskin.

“Demokrasi, sederhananya adalah pemerintahan yang dikontrol oleh orang miskin,” kata Anto.

Hal Ini kata dia, berbeda dengan konsep selama ini kita pahami, di mana demokrasi saat ini menurutnya adalah demokrasi borjuis, yang dinikmati kaum kapitalis. Demokrasi modern bagi Anto adalah demokrasi untuk kaum kapitalis, di mana perspektif kelas hilang dari demokrasi.

Sebagai penanggap, Rocky Gerung menyebutkan, setiap kita membaca buku tentang teori dan kritik, di dalamnya ada dialektika tentang materi, untuk menghasilkan konsep. Metodologi kata dia, mengambil itu untuk menjadi variabel akademis

“Oligarki adalah penguasaan sejumlah orang terhadap harta, yang diberikan secara cuma-cuma oleh alam semesta. Dari situ lahir kritik soal lingkungan, pemerintahan, dan lain-lain,” kata dia.

 

Hal yang paling mendasar kata Rocky saat ini yang terjadi, adalah tidak adanya lagi analisa soal krisis sosial. Ia mengatakan, seluruh problem sosial di sejumlah negara di dunia, ada di Indonesia dan tidak ada gerakan sosial yang muncul sebagai akibat krisis sosial tersebut.

“Buku ini memberikan keterangan teoritis mengapa demonstrasi diperlukan dan mengapa demonstrasi tidak terjadi, “kata dia.

Ia menyebutkan, ada hal yang harus dianalisa, yakni kehadiran reformasi, yang seharusnya menjadi perpindahan kualitatif dari Orde Baru ke demokrasi, namun nyatanya menjadi perpindahan secara kuantitatif, di mana oligarki menyelinap masuk dalam transisi ke sistem demokrasi.

Penanggap lainnya, Budiman Sudjatmiko mengatakan, buku ini mengingatkannya pada manifesto PRD yang lahir pada tahun 1996.

Menurut dia, gerakan sosial gagal, karena kita tidak pernah mencapai independensi secara logistik. Dirinya juga menyoal tentang gerakan yang berkelanjutan, yang menurutnya lebih penting dari narasi dan buku yang tebal.

Budiman mengatakan, hal yang paling penting adalah dengan berpikir dialektis, membandingkan bacaan dengan gerakan-gerakan sebelumnya, serta apa yang kita punya dan tidak punyai.

“Jika tidak mampu berpikir dialektis, belajarlah sejarah, jika tidak mampu, belajarlah materialisme,” ujarnya.JEF

Pos terkait