PALU – MERCUSUAR – Hadirnya Rumah Cokelat Sulteng, yang mengusung branding Cokelat Sulteng, terus melakukan pembenahan, untuk mempertahankan kualitas kakao Sulteng.
“Cokelat premium yang kami jual di pasaran, kemudian juga yang kami perkenalkan lewat IKM, juga yang kami promosikan di Rumah Cokelat, adalah hasil dari olahan kami, yang berasal dari bahan pilihan,” beber Kepala Unit Pelaksana Teknis Pengembangan Produk Industri Pangan dan Kerajinan Daerah (UPT PPIPK), Dinas Perindag Sulteng, Fajar Setiawan, Selasa (30/7/2019).
Dalam proses memilih bahan, secara teknis Fajar menjelaskan, kalau pihaknya hanya membeli hasil dari petani, yakni kakao yang sudah difermentasi. Bahkan dalam olahan hasil fermentasi pula, pihaknya tidak sembarangan membelinya, mesti harus melihat dulu kualitas biji kakaonya, sebab kata Fajar, banyak juga biji kakao hasil fermentasi, terlihat kempes, atau tidak berisi.
Petani yang datang membawa hasilnya ke Rumah Cokelat kata dia, sudah memahami standar yang ditetapkan oleh Rumah Cokelat, di antaranya harus sudah difermentasi, dan tidak boleh kempes. Pihaknya juga lanjut Fajar, memiliki alat ukur, yang berstandar nasional.
Berawal dari bahan terbaik, yang berasal dari beberapa wilayah di Sulteng, di antaranya, Kabupaten Sigi, Kabupaten Parmout, hingga Kabupaten Poso, dan beberapa kabupaten lainnya, maka kemudian Rumah Cokelat mengolahnya menjadi sebuah produk yang bukan hanya lezat, tetapi juga menyehatkan.
“Memang harganya agak lebih mahal, namun yang perlu diketahui, produksi dari Rumah Cokelat, memiliki kandungan cokelat, paling rendah 54 persen, dalam setiap batang cokelat yang kami produksi. Itu berarti, kadar gula dalam cokelat kami, memang hanya sedikit, tapi tidak mengurangi cita rasanya,” tambahnya.
Sebab menurutnya, batangan cokelat yang tinggi kalorinya, biasanya karena memiliki kandungan gula yang cukup tinggi pula, sehingga Fajar menegaskan, kalau cokelat yang diproduksinya, merupakan produk yang aman dikonsumsi oleh para penderita diabetes.
Kembali ke persoalan peningkatan kualitas, kata Fajar pula, pihaknya bukan hanya menuntut para petani, sebagai pemasok bahan baku utama, untuk memberikan bahan terbaik yang telah difermentasi, tetapi juga menambah jumlah harga, dalam setiap timbangan, dengan tambahan, Rp8 ribu per kilogramnya. Jika harga cokelat fermentasi, di pasaran mencapai Rp30 ribu perkilogram, maka ditambakan menjadi Rp38 ribu.
“Dengan produksi kakao di Sulteng, yang cukup tinggi, masuk dalam lima besar penghasil kakao di Indonesia, Sulteng seharusnya memiliki rumah produksi, untuk produk yang berbahan dasar kakao. Nah, Rumah Cokelat, yang merupakan bagian dari milik pemerintah, akan menjadi bagian terdepan, untuk menjadi pengolahnya,” tutup Fajar. NDA