Sanghadana di Vihara Karuna Dipa Hadirkan 25 Bhikkhu, Momentum Menumbuhkan Kebajikan

PALU, MERCUSUAR – Vihara Karuna Dipa Kota Palu dipadati umat Buddha dari berbagai daerah pada Minggu (16/11/2025) malam. Mereka datang untuk mengikuti Sanghadana, sebuah tradisi penting dalam ajaran Buddha, yang tahun ini dihadiri oleh 25 Bhikkhu dari berbagai wilayah di Indonesia.

Umat yang hadir tidak hanya berasal dari Kota Palu, tetapi juga dari kabupaten/kota lain di Sulawesi Tengah. Bahkan sejumlah umat datang dari luar provinsi, seperti Kendari, Makassar, dan Gorontalo, demi mengikuti momen ini secara langsung.

Sanghadana merupakan bagian dari rangkaian perayaan Kathina, yang dilaksanakan setelah para Bhikkhu menyelesaikan masa Vassa, masa berdiam diri selama tiga bulan di musim hujan untuk memperdalam latihan spiritual. Setelah Vassa berakhir, umat Buddha diberi kesempatan untuk mempersembahkan jubah dan kebutuhan pokok kepada para Bhikkhu.

Wakil Ketua (Upa Adhikaraṇanāyaka) Dewan Kehormatan (Adhikaraṇasabhā) Sangha Theravada Indonesia (STI), Bhikkhu Candakaro, Mahāthera, menjelaskan makna mendalam dari Sanghadana. Ia menyebut, momentum ini bukan sekadar kegiatan seremonial, melainkan sebuah latihan spiritual bagi umat.

“Setelah para Bhikkhu menyelesaikan Vassa, inilah saat yang dianggap sangat baik untuk umat menimbun jasa atau kebajikan. Disebut sebagai menimbun harta sejati,” ujarnya.

Ia kemudian mengutip nidhi kandasutta, sebuah ajaran tentang penimbunan harta kebajikan. Menurutnya, harta materi yang dikumpulkan sepanjang hidup sesungguhnya bersifat sementara, mudah lenyap oleh bencana, hilang dicuri, atau musnah dimakan waktu. Sementara itu, harta kebajikan akan tetap melekat dan menyertai seseorang kemanapun ia pergi, bahkan hingga tujuan akhir kehidupan.

Bhikkhu Candakaro menegaskan, hubungan antara Bhikkhu dan umat adalah hubungan saling membutuhkan yang bersifat menguntungkan kedua belah pihak.

“Umat mendapatkan kesempatan berbuat baik, mengikis kemelekatan pada materi, serta melatih kemurahan hati. Sementara para Bhikkhu mendapatkan dukungan untuk menjalankan latihan, menjaga sila, samadhi, dan panya atau kebijaksanaan,” jelasnya.

Ia juga mengingatkan, berdana bukan sekadar memberi, melainkan latihan untuk membebaskan diri dari sifat kikir.

“Orang yang melekat pada hartanya akan kesulitan untuk berbagi. Padahal dikatakan dalam dhamma, orang kikir tidak akan masuk surga,” jelasnya.

Lebih jauh, ia menyampaikan, berdana merupakan bagian penting dari etika sosial Buddhis. Manusia, katanya, tidak mungkin hidup sendiri. Sejak dalam kandungan hingga dewasa, manusia selalu dibantu oleh orang lain. Maka berdana adalah bentuk latihan kepedulian dan pengakuan bahwa hidup adalah kerja bersama.

Sementara itu, para Bhikkhu yang menerima Sanghadana juga memikul tanggung jawab. Selain menjalankan latihan batin, mereka wajib membimbing umat dengan menjelaskan dhamma, mencegah umat dari perbuatan buruk, dan mendorong umat untuk terus melakukan kebajikan.

“Di situlah letak simbiosis mutualisme. Bhikkhu untung karena mendapatkan dukungan dalam latihan, umat untung karena mendapatkan kesempatan menimbun jasa,” tambahnya.

Sanghadana di Vihara Karuna Dipa tahun ini menjadi momen refleksi spiritual bagi umat Buddha di Sulteng dan wilayah sekitarnya. Tidak hanya sebagai ritual tahunan, tetapi juga pengingat bahwa kebajikan adalah satu-satunya harta yang benar-benar abadi. JEF

Pos terkait