SEJARAH DAN CABOR BERKUDA DI SULTENG

9Q8O3Z3z_400x400

Eforia pesta olah raga se Asia telah kita lewati. Gegap gempita pesta kemenangan atas pencapaian target medali dan peringkat merayap hingga ke ujung negeri. Daulat atlet nasional sebagai pahlawan lapangan hijau langsung saja diupacarakan di Istana Negara langsung oleh Bapak Presiden Joko Widodo dan Bapak Wakil Presiden Jusuf Kalla, lengkap dengan bonus ratusan juta hingga milyaran rupiah sebagai penghormatan negara terhadap perjuangan atlet-atlet nasional yang berhasil menyabet medali.

 

“Sebelum keringat mengering, berikan hadiah kepada para juara kita. Selekasnya”, demikian perintah Bapak Presiden Jokowi

 

            Selain keatletan, sebagai tuan rumah dan penyelenggara Asian Games XVIII/2018, Indonesia juga kebanjiran apresiasi dari organisasi keolahragaan dunia. Sesuatu yang membuat rasa cinta dan bangga terhadap tanah air dan bangsa terasa penuh saat ini. Untuk-nya, pantas kita angkat topi buat pahlawan lapangan hijau nasional, buat panitia penyelenggara serta masyarakat olahraga dan supporter nasional.

            Salah satu cabang olah raga yang absen menyumbangkan medali di ajang Asian Games XVII/2018 lalu adalah cabang olah raga berkuda/equestrian. Tim nasional equestrian Indonesia yang menurunkan 12 rider, yang terbagi dalam 4 rider dari 3 disiplin klas yang diperlombakan belum mampu menyumbangkan medali bagi kontingen merah putih. Larasati Gading, salah satu atlet berkuda nasional kenamaan, yang pernah menyumbangkan 2 medali emas untuk klas dressage pada laga Sea Games 2015 di Singapura, 1 medali perunggu pada Asian Games 2014 di Korea, gagal pada nomor berkuda tunggang serasi individu (dressage individual intremediate), bahkan hanya bertengger di urutan ke-11.

            Cabang olah raga equestrian, pada laga Asian games XVIII/2018, diikuti 68 rider dari 16 negara yang mempertandingkan 3 disiplin equestrian, yaitu : lompat rintangan (show jumping), tunggang serasi (dressage) dan trilomba (eventing, yang merupakan perpaduan dari  dressage, show jumping dan cross country). Dengan total medali emas yang diperebutkan sebanyak 6 medali emas, masing-masing 2 medali emas untuk perorangan dan beregu dari 3 disiplin/klas yang diperlombakan.

 

Energy of Asia, Energi untuk Kita

            Secara geografis, peta kekuatan cabor equestrian nasional memang masih dikuasai oleh DKI Jakarta dan Jawa Barat pada khususnya, dan pulau Jawa pada umumnya. Meskipun kalau mau menoleh potensi rider/atlet dari luar Jawa, secara historis maupun kultural potensi rider/atlet dari luar Jawa sangatlah besar, salah satunya Propinsi Sulawesi Tengah.

            Bagi masyarakat Sulawesi Tengah khususnya Palu, kuda merupakan binatang yang dekat sekali dengan keseharian mereka. Ia menjadi alat transportasi/dokar yang hingga saat ini masih lestari. Posilumba jara, pacuan kuda tradisional acap kali terselenggara dan menjadi tontotan populis masyarakat Palu dan sekitarnya. Tempo dulu, para tentara adat di wilayah Sulawesi Tengah lihai memainkan tombak dan tameng di atas punggung kuda. Monumen patung kuda putih yang gagah berdiri memandang laut selain menjadi landmark, sekaligus penanda bahwa Kota Palu dan Propinsi Sulawesi Tengah layak menjadi pemasok rider/atlet berkuda baik untuk kejurda, kejurnas maupun hingga level kejuaraan dunia.

            Sejarah kuda di kota Palu dan Sulawesi Tengah meski sedemikian panjang, pada umumnya tak ternotifikasi secara tertulis, namun meninjau situs situs peninggalan masa lampau menjadi petanda bagaimana kala itu masyarakat suku Kaili sebagai suku asli daerah Palu dan sekitarnya mengesankan peradaban kuda sudah menjadi bagian dari kehidupan sosial, ekonomi, budaya dan kendaraan perang kala itu. Kuda menjadi simbol superioritas, strata sosial dan hewan kebanggaan empunya kuda.

            Salah satu jejak, bagaimana mengakarnya tradisi kuda dalam kehidupan masyarakat kota Palu maupun Sulteng pada umumnya adalah adanya lintasan pacuan kuda yang paling tua dan terdokumentasikan, yakni lintasan pacuan kuda yang terletak di daerah Besusu lewat sebuah foto dokumenter tahun 1930. Nampak bagaimana situasi pada saat itu infrastruktur lintasan, lengkap dengan tribun penonton dan panitia lomba yang masih beratap rumbiah, dengan kemeriahan dan antusiasme masyarakat Palu saat menonton pacuan kuda saat Itu.

            Menggelorakan perkudaan dan olah raga berkuda di Kota Palu khususnya, dan Sulteng pada umumnya adalah sebuah keniscayaan. Selain karena bagaimana kuda merupakan entitas yang menyatu dalam perjalanan peradaban masyarakat Kaili sejak jaman dahulu, peternak kuda baik kuda angkut, kuda pacu maupun kuda tunggang masih dapat dikatakan endemik dan lestari, serta sarana dan prasarana untuk pertandingan maupun latihan, baik gelangang pacu maupun arena latih equestrian meski sederhana telah tersedia.

            Terlebih secara organisasi, federasi olah raga berkuda (Pordasi Kota palu, dan Pordasi Propinsi Sulteng) juga telah terbentuk dan kobaran spirit-nya makin hari makin membesar-menyala dalam beberapa bulan terakhir, nampak pada event-event lomba pacuan kuda tidak kurang terselengara sekali dalam tiga bulan di Gelanggang Pacuan Kuda Bora di Kabupaten Sigi.

            Masyarakat perkudaan di Kota Palu khususnya, maupun Provinsi Sulteng pada umumnya mengenali event pertandingan kuda hanya pada cabang olah raga pacuan kuda atau balapan kuda tradisional/ pasilumba jara saja. Istilah berkuda, apalagi equestrian dengan beberapa disiplin/ klas kejuaraan : dressage, eventing, jumping maupun cross country sangatlah asing di telinga masyarakat per-kudaan Palu. Padahal justru eqeistrian-lah cabor yang di pertandingkan dibanyak kejuaraan mulai dari Porprof, PON, Sea Games, Asian Games hingga Olimpiade.

            Untuk itu, tantangan Pordasi Kota Palu dan Pordasi Propinsi Sulteng adalah bagaimana mensinergikan potensi olah raga berkuda, sebagai salah satu pilar penopang dan pemasok rider atlet pada level provinsi hingga level nasional.

            Beberapa agenda yang perlu dirintis pemerintah kota/provinsi bersama Pordasi kota/provinsi dalam rangka mendorong pemajuan perkudaan daerah antara lain dengan melakukan : pemetaan kepemilikan kuda secara umum, baik kuda dokar, kuda ternak, kuda tanding untuk pacuan kuda maupun kuda tanding untuk equestrian; pemetaan sebaran dan sistem pemeliharaan kuda; serta pemetaan sarana prasarana kandang kuda serta model tata kelola kandang dan gelanggang, baik untuk latihan maupun perlombaan. Apakah hanya kandang saja, ataukah sudah memiliki ruang latih untuk pelatihan kuda maupun pelatihan penunggang kudanya. Dan yang terakhir adalah promosi dan pembinaan olah raga berkuda, terkhusus cabor equestrian kepada masyarakat untuk proyeksi target prestasi cabor berkuda jangka panjang.

            Pemerintah Daerah, baik kota/ kabupaten maupun propinsi diharapkan hadir dalam upaya pengembangan olah raga berkuda, tidak hanya untuk prestasi keatletan semata, melainkan juga untuk pengembangan kepariwisataan. Disadari, bahwa multiplayer efek dari pengembangan olah raga berkuda selain sebagai cabang olah raga yang diperlombakan dan keatletan, juga sebagai upaya pelestarian tradisi perkudaan daerah yang nota bene memiliki nilai promosi daerah untuk menarik investasi dan pengembangan tourisme yang berdampak pada peningkatan sektor ekonomi kerakyatan.

            Maju dan jayalah olah raga berkuda Sulawesi Tengah. Spirit of Asia, spirit untuk kita.

 

Penulis adalah pemerhati kebudayaan.

Alumni PPRA Lemhannas RI Angk. 54 Tahun 2016

Hakim Ad hoc Tipikor pada Pengadilan Tipikor PN Klas 1A Palu

           

Pos terkait