Gempa dan tsunami maha dahsyat disusul tanah longsor yang terjadi di Kota Palu, Kabupaten Donggala, dan Kabupaten Sigi pada Jumat (28/9/2018) pekan lalu menyisakan banyak cerita. Ada kabar bahagia di antara duka nestapa ribuan warga.
Laporan: Indar Ismail Jamaluddin
Sabtu (6/10/2018), 30 menit menjelang waktu Ashar, saya dan beberapa teman dari Komunitas Epistemis Dayodara (Keday) bergerak menuju salah satu lokasi pengungsi korban gempa bumi di Kota Palu. Saya memandu teman-teman dari komunitas filsafat tersebut mencapai Kelurahan Balaroa, di Kecamatan Palu Barat. Setelah bertanya di Jalan Manggis, kami diarahkan seorang tentara untuk melalui Jalan Cemara. Sejumlah rumah di jalan ini rusak berat, terutama pagar dan pembatas bangunan. Dari Jalan Cemara, belok kiri, mobil yang kami tumpangi mendapati Jalan Gunung Gawalise. Melaju sedikit, saya mengajak kawan-kawan berhenti sejenak. Mobil menepi dan seketika nampak kawasan pemukiman yang ambles akibat hantaman gempa berkekuatan 7,7 SR pada Jumat pekan lalu itu. Para ahli menyebut fenomena ini sebagai likuifaksi, yakni tanah yang kehilangan kekuatan akibat adanya tegangan gempa bumi.
Diperkirakan ribuan warga menjadi korban tewas di kelurahan ini, mengingat luasnya kawasan yang mengalami ambles setinggi kurang lebih lima sampai sepuluh meter itu. Tumpukan material bangunan rumah, seperti tiang besi dan kayu, dinding semen, dan seng bersatu dengan tanah. Hanya duka dan tangis di antara Perumnas Balaroa, pemukiman di sekitar Perumnas, lapangan, dan sekolah dasar.
Sejumlah juru foto nampak mengabadikan puing-puing rumah. Beberapa wartawan, baik media cetak maupun elektronik dari dalam dan luar negeri, berupaya mengumpulkan informasi dari warga yang menjadi saksi mata peristiwa gempa. Sisanya adalah pengendara yang penasaran, dan warga setempat.
Berbekal penunjuk arah dari warga setempat, kami kemudian menuju Stasiun Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), 500 meter dari situ.
Rudi, salah satu personil TNI yang kami temui mengatakan Stasiun BMKG Balaroa untuk sementara dijadikan Rumah Sakit Lapangan Kostrad. Saya berkesempatan diajak berkeliling melihat kondisi rumah sakit darurat itu. Tenda-tenda TNI disulap menjadi ruangan. Ada apotek sementara, ruang ICU, ruang operasi, dan ruang perawatan atau bangsal. Di ruang perawatan ini beberapa warga beristirahat. Saya sempat berbincang dengan seorang wanita paruh baya dengan luka lebam di sekujur tubuhnya. Ia adalah korban selamat dari tsunami yang saat kejadian sedang berada di pantai Kelurahan Lere, Palu Barat.
Yang menyita perhatian saya adalah seorang bayi. Usianya baru dua hari. Saat itu, saya belum bisa menggali keterangan sebab ibunya sedang istirahat. Kecuali itu, saya tidak melewatkan kesempatan yang sangat baik itu untuk mengabadikan gambar.
Kepada saya, Rudi mengatakan ada dua bayi yang lahir di rumah sakit lapangan yang didirikan sejak Minggu (30/9/2018) atau hari kedua pasca bencana tersebut. Ia pun menyilakan jika ada warga yang ingin membantu. “Kalau ada yang ingin membantu obat-obatan, kami siap,” katanya. Selain tindakan medis, Rumah Sakit Lapangan Kostrad ini juga menyiagakan petugas untuk warga yang ingin mengecek tekanan darah.
Di luar rumah sakit, tepat di seberang jalan, terdapat lapangan dengan ribuan pengungsi. Saat itu, sejumlah orang paruh baya membagi-bagikan roti kepada anak-anak pengungsi. Para pengungsi menyebar di sini. Sebagian menggunakan halaman rumah warga, di bawah pohon, bahkan ada yang harus berbagi dengan kuburan. Dengan tikar dan tenda seadanya, mereka adalah korban gempa Balaroa yang rumahnya tertimbun, yang belum tahu akan tinggal di mana.
Rudi kemudian mengajak saya ke dapur umum. Di sini, logistik bantuan dari pemerintah, pemerintah daerah, maupun warga yang berempati, ditampung. Bur, penanggung jawab dapur umum yang saya temui mengatakan terdapat sekitar lima ribu pengungsi di lokasi tersebut. Pegawai Negeri Sipil dari Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan ini mengaku sudah bertugas di sini beberapa hari pasca gempa dan tsunami. Untuk sementara pihaknya hanya menerima bantuan logistik berupa makanan dan minuman. Adapun pakaian, ia menyarakan untuk membawanya ke lokasi pengungsi lainnya yang juga terdapat di Kelurahan Balaroa.
*
Majelis Zikir Nurul Khairaat, nama tempat itu. Orang mengenal pengelolanya dengan sebutan ‘Habib Saleh Rotan’. Di kawasan yang terletak di perbatasan Kelurahan Balaroa dan Kelurahan Kabonena ini terdapat ribuan pengungsi korban gempa. Berbeda dengan lokasi pengungsian di sekitar Stasiun BMKG, di kawasan ini, pengungsi berkonsentrasi pada malam hari. Sebagian di antaranya adalah warga yang rumahnya masih ada, namun masih khawatir dengan gepa susulan.
“Pada siang hari mereka ke bawah, ke rumah masing-masing. Nanti pada malam hari baru mereka ke sini,” kata Habib Muhammad Assegaf, anak Habib Saleh yang saya temui, Sabtu kemarin. Saya sempat mengajukan keinginan bertemu Habib Saleh, namun menurut Habib Muhammad, ayahnya itu masih melakukan evakuasi korban longsor di Kelurahan Petobo, Kecamatan Palu Selatan. Habib Saleh dan timnya dalam beberapa hari terakhir memang turun langsung menggelar evakuasi terhadap korban tewas akibat gempa, baik di Kelurahan Balaroa, maupun Kelurahan Petobo.
Saya dan kawan dari Keday pun menyerahkan paket bantuan berupa pakaian layak pakai dan makanan ringan kepada Habib Muhammad. Pakaian-pakaian yang telah dikemas dan dipisah-pisahkan itu sebelumnya merupakan sumbangan dari warga luar Sulteng yang dikirimkan melalui jalur darat. Di sini, bantuan juga terus mengalir untuk ribuan pengungsi.
Karena lokasinya berada di ketinggian, Majelis Zikir Nurul Khairaat adalah saksi bagaimana tsunami pada Jumat pekan lalu itu meluluhlantakkan ribuan warga Palu. “Saya melihat langsung tsunami itu dari sini,” kata seorang petugas di Majelis Zikir Nurul Khairaat.
Minggu (7/10/2018), saya menceritakan sedikit pengalaman saya kepada anak dan istri. Saya sampaikan begitu beruntungnya kita karena saat gempa dan tsunami tersebut masih dipersatukan dalam kondisi yang lebih baik dibandingkan dengan saudara-saudara kita yang telah kehilangan sanak keluarganya. Atau dengan mereka yang selamat namun hingga hari kesembilan ini masih bertahan di tenda-tenda pengungsian dengan tikar dan terpal seadanya. Kalau siang, pasti tersengat matahari. Sementara kalau malam, dingin sudah pasti menghantam. Belum lagi nanar kelam, ke tempat mana lagi mereka akan bermukim, sementara tanah dan rumah yang selama ini ditinggali telah habis ditelan bumi.
Berdasarkan data yang dirilis Humas Pemprov Sulteng dari Posko Penanggulangan Bencana Tsunamu Sulteng, Jumat (5/10/2018), korban meninggal dunia yang terdata sebanyak 1.648 orang. Sebanyak 628 orang telah dikebumikan di pekuburan massal Poboya, 35 orang di pekuburan massal Pantoloan, dan 922 orang di pekuburan keluarga.
Adapun korban selamat yang mengalami luka 2.549 orang, korban yang dinyatakan hilang 113 orang, dan korban tertimbun 152 orang. Selain itu ryumah rusak berat akibat gempa dan tsunami tercatat 65.733 unit dengan perkiraan penduduk yang mengungsi sebanyak 70.821 orang.***