LERE, MERCUSUAR- Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) RI memberikan bantuan lampu bertenaga air laut atau SALT (Sustainable Alternative Lighting) sebanyak 198 unit yang diperuntukan untuk tiga wilayah yang terdampak bencana alam, tsunami dan likuefaksi di wilayah Kota Palu, Donggala dan Sigi diterima Sekrataris Provinsi Sulteng, Hidayat Lamakarate.
Bantuan ini diserahkan Prof. dr.Vennetia Ryckerens Danes, M.Sc, PhD selaku Deputi Perlindungan Hak Perempuan pada Kementerian PPPA RI, saat kegiatan bertajuk Seruan Hati Perempuan Merangkai Perdamaian di atas 7,4 SR Sulteng Bangkit di halaman Masjid Agung Darusalam, Jumat (30/11/2018).
Bantuan lampu ini terdengar sederhana, energi alternatif semacam ini sangat berguna untuk masyarakat di daerah yang belum terjangkau listrik sehingga untuk dimanfaatkan pada lokasi pengungsian dan baru di Sulawesi Tengah yang mendapatkan bantuan lampu tenaga air laut ini selain Rohingya. Dengan begitu lampu ini juga dapat termanfaatkan bila tidak ada air laut sekalipun sebab dapat diganti dengan urine manusia. Tapi kalaupun jauh dari laut, penggunanya bisa menggantikan air laut dengan air tawar yang ditambah garam.
Prof. dr.Vennetia Ryckerens Danes menjelaskan penggunaanya cukup mencampurkan segelas air tawar yang ditambah dengan dua sendok garam untuk membuat lampu bisa menyala selama 8 jam penuh. Pembuatnya mengklaim lampu LED bertenaga air laut ciptaannya bisa terus menerus digunakan hingga 6 bulan lamanya, sebelum akhirnya bagian lampunya diganti. lampu LED bertenaga air laut ini ternyata juga dibekali port micro USB. Artinya, pemiliknya bisa memanfaatkan lampu tersebut untuk mengisi ulang ponsel.
Gubernur Diminta Perhatikan Kelompok Rentan
Bukan hanya bantuan Lampu yang diberikan Kementrian PPPA Sebagai Bantuan Kemanuasian namun juga bantuan khusus untuk perempuan dan anak. Selain itu, dia menyampaikan pesan dari Mentri PPPA. Prof. Yohana Susana Yembise, Dip.Apling., MA., PhD untuk Gubernur Sulteng beserta jajaran agar lebih memperhatikan perempuan dan anak serta kelompok rentan lainya yang selamat dari bencana.
“Mereka adalah kelompok yang paling rentan mengalami kekerasan berbasis gender atau KBG. Mereka itu adalah orang atau kelompok yang kurang mampu melindungi diri sendiri dari berbagai gangguan seperti perempuan lajang, perempuan kepala keluarga, anak-anak yang terpisah dari orangtuanya, anak-anak yatim piatu dan lain-lain,”ujar Vennetia.
Dalam pasal 55 ayat 2 Undang-undang Penanggulangan Bencana nomor 24 tahun 2007 bahwa yang termasuk kelompok rentan adalah bayi, balita dan anak-anak, ibu hamil, dan disabilitas yang mana mereka bertahan hidup bergantung kepada ornag lain, hak-haknya pun sering kali terabaikan.
“Pascabencana mereka lebih rentan lagi nasibnya, dimana mereka dipaksa untuk tinggal di lokasi pengungsian. Mereka sering mengalami ketidakadilan, diskriminasi dan lainya,”jelas dia. ABS