PALU, MERCUSUAR — Suara penolakan terhadap ekspansi tambang kembali bergema dari kawasan timur Indonesia. Sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Working Group Koalisi Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Regional Sulawesi–Papua menyerukan moratorium izin pertambangan mineral dan batubara. Seruan ini disampaikan dalam diskusi media bertema “Urgensi Moratorium Izin Tambang: Mendorong Perbaikan Tata Kelola Minerba dari Timur” yang digelar secara hybrid di Palu, Sabtu (11/10/2025).
Peneliti PWYP Indonesia, Ariyansah Kiliu, menilai bahwa pembukaan keran izin baru pasca terbitnya UU Nomor 2 Tahun 2025 dan PP Nomor 39 Tahun 2025 justru berpotensi memperparah kerusakan lingkungan. Ia menegaskan, “Yang urgen bukan menambah izin, tetapi moratorium tambang, sesuai komitmen Indonesia dalam Perjanjian Paris.”
Dari Sulawesi Tengah, KoMIU menyoroti dampak ekonomi tambang yang tak sebanding dengan kerusakan lingkungan dan sosial. “Investasi tambang justru menimbulkan banjir, krisis air bersih, dan konflik sosial,” kata Ufudin dari KoMIU.
Direktur WALHI Sulteng, Sunardi Katili, menambahkan bahwa kerusakan ekologi, pelanggaran HAM, dan krisis iklim menjadi alasan kuat moratorium. Seruan serupa datang dari YASMIB Sulawesi Selatan, yang menilai moratorium sejalan dengan RPJPD Sulsel 2025–2045 dan komitmen transisi ekonomi hijau.
Dari Sulawesi Tenggara, LePMIL menegaskan bahwa moratorium penting dilakukan akibat carut-marut tata kelola pertambangan dari hulu hingga hilir. “Situasi darurat lingkungan ini tak bisa dibiarkan,” ujar Solihin, Direktur LePMIL.
Sementara dari Halmahera Selatan dan Papua, masyarakat dan lembaga lokal seperti PERDU menyerukan penghentian sementara izin tambang demi pemulihan lingkungan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat.
“Moratorium bukan anti-investasi, tapi jeda cerdas untuk menyelamatkan ruang hidup rakyat,” tegas Rosniaty Panguriseng dari YASMIB. */JEF