LERE, MERCUSUAR – Tim Kiblat Klinik Hisab Rukyat yang terdiri dari lima mahasiswa Fakultas Agama Islam Universitas Alkhairaat Palu mengungkapkan, arah kiblat Kota Palu berada pada 291 derajat dari utara sejati.
Berbeda dari pernyataan Ketua MUI Sulawesi Tengah, yang menyebutkan arah kiblat berkisar 295–296 derajat.
Ketua Tim, Taufik Musa, menjelaskan secara teknis arah kiblat Kota Palu adalah 68 derajat dari utara ke barat dan 21 derajat dari barat ke utara, yang jika dijumlahkan menghasilkan 291 derajat. Menurutnya, arah 295 derajat lebih sesuai untuk wilayah lain seperti Jakarta, Bekasi, Bandung, dan kota-kota di Jawa Barat.
Tim juga mengkritisi penggunaan kompas sebagai alat utama dalam penentuan arah kiblat, terutama untuk bangunan permanen seperti masjid. Kompas bekerja berdasarkan medan magnet dan rentan terhadap gangguan dari logam di sekitar lokasi, sehingga hasilnya bisa meleset.
Taufik tidak menampik adanya kelonggaran, tetapi menekankan pentingnya akurasi dalam pembangunan masjid.
“Jika arah kiblat sudah diketahui salah secara ilmiah, maka shaf shalat wajib disesuaikan. Ini soal tanggung jawab keumatan,” tegasnya.
Menanggapi perbedaan ini, Ketua MUI Sulteng, Habib Ali bin Muhammad Aljufri, sebelumnya menyatakan terdapat kelonggaran dalam arah kiblat karena jauhnya jarak antara Palu dan Makkah.
Ia menyebut pergeseran beberapa derajat tidak membatalkan salat. Umat Islam yang tinggal jauh dari Makkah, seperti di Palu dan wilayah lain di Indonesia, cukup menghadap ke arah umum Ka’bah, atau yang disebut Jihatul Ka’bah.
“Kita ini berada ribuan kilometer dari Ka’bah. Maka menghadap arah umumnya sudah cukup, tidak harus derajat demi derajat. Shalat tetap sah selama dilakukan dengan niat dan usaha yang benar,” jelasnya, seperti dilansir dari Kaidah. Id
Ia menjelaskan, Ka’bah memiliki tinggi sekitar 13,1 meter, dengan sisi 12,86 meter x 11,03 meter. Dari jarak sekitar 8.000 kilometer seperti dari Palu ke Makkah, maka sudut toleransi arah kiblat menjadi cukup luas. IKI