Hembusan angin menyapa sore hari dengan mendung yang menggelayut di langit Kota Palu. Kendaraan lalu lalang di jalan raya dua jalur, di mana di salah satu sudutnya, dipenuhi truk yang mengantri solar di SPBU. Seberang jalan dari SPBU itu, nampak sebuah kampus keagamaan Islam negeri yang tengah berbenah, pasca diamuk tsunami, tiga tahun silam.
Tidak jauh dari SPBU itu, masih di sisi jalan yang sama, Nampak sejumlah bangunan hunian sederhana. Dari kejauhan, atapnya yang berwarna biru, berjejer rapi. Jalanan di kawasan hunian itu penuh dengan kerikil. Di sekitarnya, nampak tiga anak kecil sedang bermain, ibu-ibu yang asyik bercerita di salah satu hunian, dan seorang pria paruh baya, mengenakan kaos berwarna merah dengan celana pendek, duduk santai di depan hunian miliknya.
“Kami sudah bicara dengan wali kota di sini. Kami dibikinkan huntap satelit di Rusunawa Lere. Dia (wali kota red.) berjanji sudah di situ, rumah satelit lebih 60 barangkali. Kita nelayan tidak mau pindah, karena kita nelayan, siapa yang mau pindah jauh di gunung,” urai pria paruh baya itu dengan lantang.
Pria itu, Ambo Mae (65), sehari-hari bekerja sebagai nelayan. Ia lahir dan besar di Lere. Dirinya bersama 70 keluarga lainnya, kini masih mendiami hunian sementara di Jalan Pangeran Diponegoro, Kelurahan Lere, Kecamatan Palu barat.
Ambo Mae mengatakan, mereka tidak mau pindah ke hunian tetap (huntap), yang berlokasi di Kelurahan Tondo, karena lokasinya yang jauh dari pantai. Untuk itu, mereka menetap di huntara itu selama tiga tahun. Lokasi huntara yang mereka tempati saat ini kata dia, bukan milik pemerintah dan kalau sudah tidak diizinkan untuk tinggal di lokasi huntara tersebut, mereka akan kembali tinggal di tempat tinggal mereka, sebelum bencana 28 September 2018.
“Yah terpaksa harus bangun (membangun hunian red.) di situ (di lokasi tempat tinggal sebelum bencana red.). Mau di mana lagi kita, karena kita nelayan, baru mau jauh-jauh ke Tondo atau di Pombewe di suruh pindah di situ, jauhnya dari pantai. Kita tidak mau, itu sampai kita mau bertahan di sini,” jelasnya.
Hari ini, Selasa (28/9/2021), genap tiga tahun pascabencana gempa bumi, tsunami, dan likuifaksi yang melanda Kota Palu, Kabupaten Sigi dan Kabupaten Donggala. Tiga tahun berselang dari bencana dahsyat itu, masih banyak penyintas yang sebelum bencana bermukim di kawasan Jalan Cumi-cumi, Kelurahan Lere, masih bertahan di huntara yang ada di Jalan Diponegoro, Kelurahan Lere.
Hal ini mereka lakukan, karena sebagian besar dari mereka yang tinggal di huntara, bertahan hidup dan mengais rejeki dari melaut. Hal itu menjadi alasan mereka untuk tetap tinggal di huntara, karena huntap yang disediakan untuk mereka, letaknya jauh dari laut, tempat mereka mengais rejeki untuk menyambung hidup.
Penyintas yang kini masih bertahan di Huntara Lere, berharap pemerintah membangun huntap untuk mereka, yang lokasinya masih berada di wilayah Kelurahan Lere dan sekitarnya. Saat ini, ada sebagian masyarakat yang pindah di Huntap Tondo, ada juga yang sudah menerima kunci huntap tapi belum pindah, karena masih banyak kerabat dan sanak keluarga mereka yang tinggal di huntara. Sampai saat ini, belum ada batas waktu bagi mereka, sampai kapan dapat menghuni huntara itu.
“Itu tidak jadi sebenarnya kita tidak ambil huntap, karena dibilang ganti rugi, karena tidak ada lagi kita punya lokasi (lahan red.), gantinya sudah di sana (huntap red.), padahal dulu itu bukan begitu (kesepakatannya red.), jadi separuh sudah ba ambil (huntap red.),” jelasnya.
Kepala Seksi Pemerintahan Kelurahan Lere, Efendi, kepada Mercusuar, 21 September 2021 lalu mengatakan, masa tinggal 205 kepala keluarga (KK) korban gempa bumi dan tsunami yang menempati Huntara Lere di Jalan Diponegoro, akan segera berakhir.
“Dari 205 KK, kurang lebih 100 KK di Huntara Lere, sudah mendapatkan hunian tetap (huntap), di belakang kampus Untad di Kelurahan Tondo. Untuk sisa KK yang belum mendapatkan huntap, akan dipindahkan ke huntap di belakang Polda Sulteng, setelah tahap pembangunannya selesai,” ujar Efendi.
Efendi mengatakan, warga yang berhak mendapatkan bantuan huntap, yaitu warga yang lokasi tempat tinggalnya sebelum bencana, masuk dalam zona merah dan sudah tidak memiliki tempat tinggal sama sekali. Mereka umumnya berasal dari Jalan Cumi-cumi, Kelurahan Lere dan berprofesi sebagai nelayan.
Apa yang dirasakan penyintas yang tinggal di Huntara Lere, tidak jauh berbeda dengan penyintas yang masih tinggal di sejumlah huntara yang ada di Kota Palu. Anggra (24), warga yang menghuni salah satu bilik huntara yang berlokasi di belakang Terminal Mamboro, Kelurahan Mamboro, Kecamatan Palu Utara, salah satunya. Kata dia, masyarakat di huntara itu mengharapkan secepatnya diberikan huntap, tetapi menurutnya, banyak prosedur yang harus dilakukan untuk mendapatkan satu huntap.
Dengan sebatang rokok di tangannya, dan iringan lantunan musik dari sebelah bilik huntaranya, Anggra menjelaskan, dia dan keluarganya belum pindah ke huntap, karena ada syarat untuk memiliki huntap dan yang diprioritaskan adalah masyarakat yang kehilangan rumah dan tanah yang ditinggali sebelum bencana, harus atas nama si pemilik sendiri. Walau syarat itu terpenuhi, dirinya tetap harus menunggu huntap, yang masih dalam tahap pengerjaan.
“Walaupun syarat terpenuhi, kalo Huntap Buddha Tzu Chi penuh, berarti harus menunggu lagi huntap yang selanjutnya. Lagi pula belum pasti juga, memang akan dibangun di situ, tapi belum pasti kita akan dapat atau tidak, karena berkas harus diverifikasi dan lewati beberapa tahap di BNPB,” keluhnya.
Tinggal di huntara selama tiga tahun, beberapa hal kata dia, sering dikeluhkan masyarakat sekitar, seperti jalan yang rusak, kemudian dinding huntara yang tipis, sehingga menjelang malam, hawa dingin bisa masuk sampai ke dalam ruangan dan ketika siang saat terik, hawa di dalam huntara sangat panas.
“Pemerintah pernah datang ke huntara, untuk mengumumkan bahwa ada beberapa keluarga yang akan dipindahkan dari Huntara Diponegoro (Lere) ke Huntara Mamboro, karena sebagian bilik yang ada di Huntara Mamboro sudah tidak berpenghuni,” jelas Anggra.
Huntara Mamboro adalah bagian dari 699 unit huntara yang dibangun pemerintah untuk korban gempa, tsunami, dan likuefaksi di Kota Palu, Kabupaten Sigi, Kabupaten Donggala, di Sulteng. Huntara ini diperuntukkan bagi 240 keluarga korban tsunami di Kelurahan Mamboro dan Kelurahan Mamboro Barat, Kecamatan Palu Utara.
Apa yang dialami Ambo Mae dan Anggra, hanyalah salah satu dari sekian banyak suara dari penyintas bencana 28 September 2018 lalu, yang sampai hari ini masih tinggal di huntara. Ketidakpastian nasib sebagian mereka, apakah akan mendapatkan huntap atau tidak, kemudian penolakan dari sebagian lainnya, karena lokasi huntap yang jauh dari lokasi mereka mengais rejeki, adalah elegi yang terus disenandungkan dalam tiga tahun terakhir.
Tiga tahun telah berlalu dari bencana yang meluluhlantakkan segala sendi kehidupan kita. Sebagian dari kita, para penyintas bencana itu, mungkin telah membaik harkat kehidupannya, telah kembali normal roda ekonominya, telah membangun kehidupan baru yang layak. Namun, sebagian lainnya dari kita, masih berjuang menghapus trauma, memupus kesedihan ditinggalkan sanak saudara dan kerabat, bersusah payah membangun kembali harapan akan penghidupan lebih baik, serta masih menanti kepastian nasib diri dan keluarga, dari ribuan bilik huntara di Kota Palu.***
OLEH: AZMI, ELVIRA, JEFRIANTO