PALU, MERCUSUAR – Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, menyoroti lambatnya penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) di sejumlah wilayah di Indonesia, termasuk di Sulawesi Tengah.
Dalam sambutannya pada pembukaan Forum Koordinasi Pembangunan Wilayah Berbasis Penataan Ruang Pulau Sulawesi yang berlangsung di Gedung DPRD Provinsi Sulteng, Kamis (10/7/2025), Nusron menegaskan, keterlambatan ini berdampak langsung pada kepastian investasi dan keberlanjutan program-program strategis nasional seperti reforma agraria dan ketahanan pangan.
Menurut Nusron, para kepala daerah memegang peran kunci dalam pelaksanaan reforma agraria sebagai ex officio ketua gugus tugas.
“Kepala daerah bertugas menentukan subjek penerima reforma agraria, sementara ATR/BPN menentukan objek dan mensertifikatkan lahan yang sudah didistribusikan,” ujarnya.
Dalam aspek tata ruang, Nusron mengungkapkan, target penyusunan RDTR nasional hingga 2029 mencapai 2.000 dokumen. Namun hingga kini, baru 695 RDTR yang diselesaikan. Di Pulau Sulawesi sendiri, dari 451 target, baru 90 RDTR rampung, atau hanya sekitar 19,96 persen.
Khusus di Sulawesi Tengah, capaian RDTR tergolong rendah. Dari target 71 RDTR, baru 20 yang selesai, di mana 10 di antaranya terintegrasi dengan sistem Online Single Submission (OSS) dan 10 lainnya belum. Artinya, Sulteng masih kekurangan 51 RDTR dan baru mencapai sekitar 28,17 persen dari target yang ditetapkan.
Selanjutnya, Nusron juga menyoal integrasi antara RDTR dengan Peta Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (P-KKPR). Ia menekankan pentingnya PKKPR sebagai syarat dasar perizinan usaha, yang harus merujuk pada dokumen tata ruang yang sah.
“Ketika Peta Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (P-KKPR) tidak mengacu pada RDTR, maka investasi kerap menimbulkan risiko terhadap kelestarian lingkungan,” tegas Nusron.
Selain soal investasi dan tata ruang, Nusron juga menyinggung tantangan ketahanan pangan nasional akibat alih fungsi lahan sawah. Berdasarkan data BPS 2021, Indonesia kehilangan sekitar 60.000 hingga 80.000 hektare sawah per tahun, setara 165 hingga 220 hektare per hari, karena alih fungsi menjadi kawasan permukiman dan industri.
“Ini ancaman nyata terhadap program ketahanan pangan Presiden. Karena itu, kami melakukan penetapan Peta Lahan Sawah yang Dilindungi (LSD), yang terdiri dari Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) dan non-LP2B, setelah melalui proses verifikasi dan pengecualian terhadap HGB, proyek strategis nasional, dan izin lain,” tambahnya.
Dengan keterlambatan penyusunan RDTR dan ancaman alih fungsi lahan, Nusron mendorong pemerintah daerah di Sulawesi Tengah dan wilayah lain di Sulawesi untuk mempercepat sinkronisasi tata ruang agar program nasional bisa berjalan secara optimal dan berkelanjutan. JEF