TIPO, MERCUSUAR, Masyarakat Adat Nggolo di Salena, Kota Palu, menyurati Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Agus Harimurti Yudhoyono di Jakarta. Hal itu dilakukan karena beberapa waktu lalu, sejumlah oknum dari Kantor Pertanahan Kota Palu melakukan survey di Wilayah Adat Nggolo, dengan tujuan untuk dibuatkan sertifikat tanah.
Tindakan itu mendapat respon dari warga setempat. Pasalnya tidak ada izin ataupun sosialisasi di Balai Pertemuan Kampung, sebelum melakukan survey.
“Kita kaget, bagaimana jika kita datang ke Kantor BPN Palu dengan cara yang tidak sopan, pasti tersinggung orang-orang di dalam,” kata Haerul, warga Salena, Rabu (9/10/2024).
Warga Salena menolak sertifikat tanah secara individu, karena hal itu justru memberi peluang untuk perusahaan tambang masuk.
“Kita lebih memilih sertifikat komunal. Pemerintah juga harus mengetahui, saat ini kami masyarakat adat Nggolo di Salena sedang mendorong hutan adat. Harusnya pemerintah mendukung, karena tujuannya untuk mempertahankan wilayah adat,” sambung Haerul.
Berdasarkan rapat di tingkat warga, disepakati pokok-pokok penolakan sebagai berikut. Pertama, masyarakat adat Nggolo di Salena menolak rencana BPN Kota Palu mensertifikatkan secara perorangan atas tanah adat, yang diatasnya terdapat kebun milik masyarakat adat Nggolo di Salena seluas 58 hektar, yang terletak di bagian utara pemukiman masyarakat adat Nggolo di Salena.
Kedua, masyarakat adat Nggolo di Salena menolak tanah dan bagunan rumah diterbitkan sertifikat secara perorangan oleh BPN Kota Palu.
Ketiga, menolak wilayah adat Nggolo yang ditempati warga Wana, Kelurahan Tipo, Kecamatan Ulujadi untuk disertifikatkan, baik secara perorangan maupun secara komunal oleh BPN Kota Palu.
Keempat, masyarakat adat Nggolo di Salena lebih memilih jalur pengakuan wilayah adat Nggolo dengan Keputusan Gubernur Provinsi Sulteng tentang pengakuan, perlindungan dan penghormatan terhadap hak masyarakat adat Nggolo, berdasarkan peta partisipatif.