PALU, MERCUSUAR – Musibah tsunami yang menggulung Teluk Palu pada tahun 2018 lalu bukan sekedar bencana yang merenggut nyawa manusia, tetapi sebuah pengingat tentang pentingnya mitigasi bencana, dengan mengajarkan anak sejak dini untuk peduli terhadap konservasi sebagai bagian dari bagian perlindungan.
“Apalagi tanaman Mangrove, Nipah, Rhizophora, merupaka benteng alami, yang bisa menangkal tsunami. Maka kemudian, kami mencoba mengedukasi anak-anak, untuk menanam ketiga tanaman itu, agar mereka memahami arti dari sebuah tanaman yang juga punya peranan penting dalam menyelamatkan dari bencana tsunami,” urai Project Committee Leader Super Teen Mangrove Heroes, Ista Nur Masyithah kepada Mercusuar, Selasa (9/12/2025).
Lanjut Ista, sapaan akrabnya, pihaknya menghadirkan ratusan siswa membangun benteng alam untuk menangkal gelombang tsunami, mengedukasi anak sejak dini terkait pentingnya sebuah konservasi, demi menyelamatkan manusia dari bencana alam dengan menanam 1.000 bibit mangrove propagul dalam mode tanam rombong, bibit Nipah dan Rhizophora, menjadi rangkaian penutup dalam kegiatan Super Teen Mangrove Heroes, yang diikuti siswa dari beberapa sekolah di Kota Palu dan Kabupaten Donggala, di pesisir pantai Kelurahan Tondo Kecamatan Mantikulore, Kota Palu, Minggu (7/12/2025).
“Wilayah ini dipilih dengan pertimbangan berdasarkan fakta, bahwa pada saat tsunami 2018 melanda pesisir Teluk Palu, wilayah ini mengalami dampak terparah dengan terjangan ombak mencapai 11 meter dan jumlah daratan mundur 20 meter dari garis pantai sebelum tsunami,” ungkap Ista.
Lanjut Ista, aksi konservasi ini merupakan kolaborasi antara KTH Gonenggati Jaya dan KPH Banawa Lalundu sekaligus penutup kampanye edukasi yang sebelumnya diadakan di tujuh sekolah, masing-masing SMA Negeri 2 Palu, SMK Negeri 3 Palu, SMK Negeri 1 Banawa, SMK Negeri 2 Banawa, serta SMP Negeri 2, 3, dan 12 Palu, dengan jumlah peserta 110–150 siswa per sekolah.
Harapannya pula, ujar Ista, untuk memperkuat kembali sabuk mangrove Teluk Palu. Pengalaman Kabonga Besar saat tsunami 2018 kembali menjadi rujukan sebab wilayah tersebut terbukti mengalami dampak lebih ringan karena masih memiliki bentang mangrove alami.
“Kalau pesisir Kabonga Besar bisa selamat karena mangrove, kenapa pesisir lain tidak? Kesadaran Kolektif tentang fakta ini yang ingin kami bangun bagi warga di Teluk Palu,” imbuhnya.
Dengan kombinasi propagul dan bibit dari berbagai jenis, upaya tersebut diharapkan menciptakan struktur vegetasi yang lebih kuat dan tangguh untuk jangka panjang.
Target utama program tersebut adalah siswa SMP dan SMA. Alasannya, mangrove adalah tumbuhan yang tumbuh lambat, membutuhkan waktu bertahun-tahun hingga mencapai ukuran ideal sebagai benteng alami. Dengan harapan hidup rata-rata warga Indonesia yang panjang, remaja adalah kelompok yang akan hidup cukup lama untuk menyaksikan hasil dari apa yang ditanam saat ini.
“Mereka tumbuh bersamaan dengan mangrove yang mereka tanam. Ini investasi lingkungan yang relevan dengan perjalanan hidup mereka sendiri,” tandas Ista. */MBH






