PALU, MERCUSUAR – Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah (FUAD) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Palu melaksanakan seminar nasional, Minggu (15/3/2020), dengan tema Countering Religious Violence Extremism In Indonesia. Seminar yang dilaksanakan di Aula Gedung Dakwah IAIN Palu ini, menghadirkan guru besar UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Prof. Dr. M. Amin Abdullah.
Prof. M. Amin Abdullah, dalam pemaparannya berjudul Violent Extrimism Dalam Beragama, Bagaimana Mencegahnya, menjelaskan, Akar virus violence extrimism lahir dari hadirnya gerakan transnasional, yang ditandai dengan munculnya pemahaman kebenaran tunggal. Hal ini kata dia, memunculkan turunan, seperti hate speech, bid’ah, dan lain-lain.
Virus violence extrimism juga ditandai dengan munculnya faksi ekstrim radikal. Untuk mengenalinya kata Prof. Amin Abdullah, referensi kita harus banyak, karena faksi ini banyak turunan kelompoknya.
Gerakan Islam transnasional di Indonesia menurutnya, muncul setelah 1998, walaupun bibitnya sudah ada sejak 1983 di perguruan-perguruan tinggi. Kebijakan NKK/BKK di perguruan tinggi di era orde baru, menurutnya memiliki andil dalam menciptakan hal ini, karena organisasi berhaluan politik tidak bisa masuk kampus.
Prof. Amin menyebutkan, terkait radikalisasi agama di perguruan tinggi, BNPT menyebutkan, 7 kampus terindikasi radikalisme. Sementara, BIN menyebut sepanjang 2017, 17 mahasiswa terindikasi anti demokrasi dan Pancasila.
“Ilmu eksakta paling rawan terpapar, karena kurang bersentuhan dengan isu humanitas,” ujarnya.
Ada tiga hal menurut Prof. Amin yang menjadi solusi untuk menangkal violence extrimism, yakni literasi beragama, literasi media, kesamaan di depan hukum, keterbatasan ‘bahasa’ agama.
Literasi keagamaan menurut Prof. Amin, yakni bertanggung jawab secara sosial dan budaya di ruang-ruang publik, juga bagaimana menumbuhkan rasa empati dan respek kepada orang lain.
“Jangan menghakimi kepercayaan orang lain yang berbeda,” ujarnya.
Kemudian soal kesetaraan warga negara di depan hukum, dirinya menyebut dapat ditunjukkan dengan tidak adanya klaim superioritas agama. Terkait hal ini kata dia, perlu guru dan dosen yang hebat, yang pengetahuan dan problem solving-nya mendalam. Pancasila sebagai platform bersama, sebagai sebuah konsensus bernegara.
“Perlu konvergensi antara iman dan konstitusi. Pluralitas, demokrasi, inklusivitas, sudah menjadi bagian dari masalah di Indonesia. Hal yang patut kita syukuri, kohesivitas sosial kita tinggi sekali,” ujarnya.
Kemudian terkait keterbatasan ‘bahasa’ agama, kita harus memahami, Tuhan selalu dalam penafsiran manusia yang serba dalam keterbatasan.
Ada beberapa hal menurut Prof. Amin yang dapat dilakukan untuk menangkal violence extrimism, di antaranya, memperkuat literasi multikultural, mencermati kepribadian ganda diri sendiri dan orang lain, menjauhi sikap praduga, berpikir tingkat tinggi, keseimbangan skill sains dan kemanusiaan serta mendengar suara hati nurani, juga memperbanyak ruang-ruang diskusi.
Sementara itu, Dekan FUAD IAIN Palu, Dr. Lukman Thahir, M.Ag, yang menjadi pembicara selanjutnya, menceritakan pengalamannya melakukan deradikalisasi dan mentoring kepada narapidana teroris. JEF