TALISE, MERCUSUAR – Arliyanda berhasil meraih gelar Doktor (S3) di usia 28 tahun dari Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin, Makassar. Arliyanda merupakan mahasiswa asal Kota Palu yang sebelumnya menyelesaikan pendidikan S1 dan S2 di Universitas Tadulako. Ia melanjutkan studi doktoralnya di Universitas Hasanuddin dengan judul disertasi “Pengaturan Hukum Tata Ruang Pemerintahan Provinsi Sulawesi Tengah Pasca Bencana Alam.”
Dalam ujian promosi doktor yang dipimpin oleh Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Arliyanda berhasil memaparkan dan mempertahankan disertasinya di hadapan para penguji dengan sangat meyakinkan. Ia menegaskan bahwa pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah belum sepenuhnya mampu menata tata ruang pasca bencana alam. Meskipun tata ruang tersebut telah diatur dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Sulawesi Tengah, implementasinya masih sering dilanggar oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
Arliyanda menguraikan, kerusakan terbesar akibat bencana gempa bumi di Palu dan sekitarnya terlihat pada sektor permukiman dan perumahan, dengan banyak rumah yang hancur rata dengan tanah. Bencana likuefaksi yang terjadi membuat beberapa area tidak lagi layak untuk dijadikan permukiman dan memerlukan relokasi ke kawasan baru.
Ia juga menyampaikan bahwa untuk menciptakan keteraturan dalam penataan ruang di seluruh wilayah Indonesia, fungsi setiap kawasan harus dituangkan secara tegas dalam perencanaan tata ruang, baik di tingkat nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota. Penataan ruang yang baik akan memudahkan pengawasan dan pengendalian dampak dari kegiatan yang dilakukan di wilayah tersebut. Artinya, penggunaan lahan akan diarahkan ke tempat-tempat yang sesuai dengan peruntukannya, yang memiliki daya dukung dan perlindungan memadai.
Dalam penelitiannya, Arliyanda menawarkan konsep model penataan ruang yang melibatkan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Ia mengusulkan agar undang-undang tersebut memasukkan pertimbangan pengurangan risiko bencana dan tanggung jawab pemerintah, bukan hanya menetapkan jalur evakuasi. Ia juga mengusulkan dibuatnya Rencana Tata Ruang Wilayah Khusus yang mencakup zona evakuasi dengan regulasi teknis terperinci, serta memperhatikan aspek keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan keamanan saat bencana terjadi.
Arliyanda menekankan pentingnya pembangunan Gedung Khusus Penyelamatan di setiap provinsi, terutama di daerah yang rawan bencana seperti Sulawesi Tengah. Gedung penyelamatan ini harus memiliki ruang terbuka yang luas untuk mengantisipasi reaksi panik selama bencana, seperti yang sering terjadi di Kota Palu, yang dikenal memiliki banyak sesar aktif. Meskipun dalam situasi darurat gempa bumi orang cenderung takut untuk masuk ke dalam gedung, setelah dinyatakan aman, gedung penyelamatan ini akan menjadi tempat perlindungan utama bagi masyarakat dari ancaman cuaca ekstrem dan bencana susulan.
Sebagai komparasi, ia mencontohkan escape building yang ada di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, yang dilengkapi dengan fasilitas pendukung seperti sistem komunikasi yang handal, listrik, kamar mandi, dapur darurat, pompa air, peralatan medis, serta ruang untuk distribusi bantuan sandang dan pangan. Dengan demikian, melalui pedoman teknis yang komprehensif dan pengaturan hukum yang memadai, diharapkan akan terwujud perlindungan yang berkeadilan bagi setiap warga negara yang terdampak bencana alam, khususnya di Provinsi Sulawesi Tengah yang secara geografis merupakan wilayah rawan bencana. */RES