Tiga Tahun Menanti Huntap

F2BF3447-D137-4458-8107-AEA47E135BB6-b04353a8

Oleh : Tasman Banto

Tulisan ini hasil kolaborasi Mercusuar dengan Tempo Institute, Tempo.co didukung International Media Support (IMS) untuk memperingati tiga tahun gempa di Pasigala

Hunian sementara (huntara) di Kelurahan Lere, Palu Barat, terlihat sumpek.Ukurannya empat kali enam meter persegi.Mirip tenda yang digunakan para siswa untuk berkemah.Bagian dalamnya tanpa penyekat.Huntara itu berlantaikan tanah yang ditutup dengan tikar plastik.Tak ada ruang tamu.Tempat tidur dan dapur menyatu.

Di huntara itulah selama tiga tahun ini Rahma Abdullah Aday, 45 tahun, tinggal.Dia adalah satu dari ribuan warga yang menjadi korban gempa bumi yang mengguncang Palu dan sekitarnya pada 28 September 2018.

“Saya sudah tak mampu berbicara bagaimana dukanya selama tiga tahun tinggal di huntara. Lihat saja kondisinya, seperti tinggal di dalam tenda kecil,” kata Rahma yang tinggal bersama empat anaknya saatditemui pada Sabtu petang, 2 Oktober 2021.

Susahnya hidup di tenda darurat makin diperparah dengan sulitnya air bersih.Dia kerap kali harus membeli air untuk masak dan minum.Seperti kebanyakan penyintas lainnya, ia sangat berharap segera pindah ke hunian tetap (huntap).

Menurut Rahma, sejak awal huntara itu dihuni 205 kepala keluarga. Namun, sebagian sudah pindah ke huntap di Kelurahan Tondo.Sekarang masih tersisa 65 kepala keluarga yang tinggal di huntara itu.

Ia pun mulai gelisah. Pemilik lahan di huntara itu sudah memagari lahan.Ia yakin benar, itu adalah pertanda pemilik lahan sudah akan memanfaatkan lahannya.

“Saya dengar kabar akan dibangun showroom.Kami harus siap-siap diusir, entah ke mana lagi,” katanya dengan raut wajah sedih.

Ia bercerita, hampir semua penghuni huntara itu dulu tinggal di Kampung Lere. Semuanya adalah nelayan.Saat terjadi tsunami, rumah-rumah mereka yang berdiri di bibir Teluk Palu hancur tanpa bekas.Hanya pondasi yang tersisa.

Menurut Rahma, Wali Kota Palu Hadianto Rasyid saat kampanye pilkada 2020 pernah menjanjikan pemindahan penghuni huntara di Jalan Pangeran Diponegoroitu ke rumah susun di Jalan PangeranHidayat. Kebetulan lokasinya dekat pantai.Mereka gembira, karena bakal mudahturun ke laut.

Namun, rencana itu dibatalkan.Rumah susun itu bahkan dibongkar.Sebagian penghuni huntaradipindahkan ke huntap di Kelurahan Tondo.Karenajauh dari pantai, banyak penyintas balik ke huntara di Kelurahaan Lere yang dekat dengan pantai.

“Tetapi setelah terpilih menjadi wali kota Palu, eh, hanya janji. Kami kecewa dan menyesal,” kata Endang, juga penghuni huntara Lere, Selasa, 5 Oktober 2021.

Demi Lapangan Bola

Penyintas bencana di Kelurahan Donggala Kodi, Kota Palu, bernasib lebih menyedihkan.Huntara merek harus dibongkar rata dengan tanah. Alasannya, lahan itu akandijadikan lapangan sepak bola.

Sebanyak 39 kepala keluarga atau 100 jiwa lebih penghuni huntara itu tidak berdaya.Mereka harus angkat kaki.Sementara huntap yang selalu dijanjikan, juga belum ada. Mereka pun terpaksa mencari tempat-tempat kos.

Masni, seorang penghuni huntara itu, menilai pembongkaran tak manusiawi.Surat lurah setempat memberi waktu ke penghuni sampai 30 September 2021 sebelum dilakukan pembongkaran.Tetapi, pembongkaran dilakukan lebih cepat, yakni pada 29 Agustus 2021.

Huntara di Donggala Kodi dibangun Kementerian PUPR,bersebelahan dengan huntara Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) yang dibangun di pinggir jalan untuk puluhan kepala keluarga.

Koordinator huntara MDMC, Maskar, membenarkanhuntara itu dibongkar karena lahannya akan digunakan untuk lapangan bola. Padahal, lahan itu bukan milik pengusaha atau perorangan, tetapi milik pemerintah.“Saya heran mengapa pemerintah mengutamakan lapangan bola ketimbang tempat tinggal penyintas bencana,” kata Maskar, Sabtu, 2 Oktober 2021.

Akibat pembongkaran itu, beberapa orang penghuni huntara itu ditampung di huntara MDMC yang berjumlah sekitar 20 kepala keluarga.Sementara yang lainnya, terpaksa mencari tempat-tempat kos.

Pos terkait