PALU, MERCUSUAR – Kecurangan dan pelanggaran yang berpotensi terjadi pada proses kontestasi demokrasi seperti Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), disebut dapat menggerus kualitas demokrasi. Olehnya, diperlukan pengawasan yang ketat agar potensi tersebut tidak terjadi.
Hal itu disampaikan Direktur Perkumpulan Indonesia Memilih (PIM), Rusli Attaqi, pada kegiatan Sekolah Pemilu dan Demokrasi yang digelar PIM di Kantor Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Provinsi Sulteng, Minggu (13/9/2020).
Menurutnya, gerak individu dan komunitas dapat berkontribusi meningkatkan kualitas demokrasi, dengan berkolaborasi bersama para pengawas dalam melakukan pencegahan pelanggaran, serta melaporkan pelanggaran kepada Bawaslu atau jajarannya.
Hal itu, kata dia, menjadi salah satu poin strategis penyelenggaraan Sekolah Pemilu dan Demokrasi, yang digelar bekerja sama dengan Jaringan Advokasi untuk Keadilan (JATI Center) dan Bawaslu Sulteng. “Pertama, mendekatkan pengawasan pemilihan dalam kehidupan sosial. Berupa menciptakan simpul pengawasan potensial di lapisan masyarakat,” kata Rusli.
Menurutnya, jika dikonsolidasikan secara tepat maka individu dan komunitas sosial akan menjadi kekuatan besar membantu kerja-kerja penyelenggara pengawasan, khususnya Bawaslu. Kehadiran individu dan komunitas potensial ini, menjadi kekuatan besar yang sinergi dengan kerja-kerja pengawasan pemilihan. “Pengawas pemilihan memiliki jumlah sumber daya terbatas, ditambah waktu penanganan pelanggaran yang singkat, serta wilayah pengawasan yang luas, tentu menyulitkan kegiatan pengawasan langsung dan melekat,” jelasnya.
Poin strategis kedua, lanjutnya, adalah mempertahankan integritas dan kapasitas pemilih. Melalui pola materi pendidikan yang diberikan kepada peserta, dapat menghasilkan lulusan potensial menjadi kader pengawas pemilihan di daerah masing-masing daerah. “Spesifiknya, memiliki integritas dan kapasitas memadai dalam pelaksanaan kerja-kerja penyelenggaraan pemilihan, khususnya berkolaborasi dalam pengawasan pemilu mewujudkan keadilan pemilu,” jelasnya.
Terkait integritas dan kapasitas individu yang telah dibina, ia berharap dapat menjadi bibit kristal untuk menyebar hingga membentuk kekuatan sosial masyarakat. Sosialisasi dapat dilakukan minimal di lingkungan keluarga terdekat, lalu menggelinding ke komunitas dan masyarakat. “Ketiga, perluasan jaringan sosialisasi. Peserta diutamakan para pegiat dan aktivis sosial, sehingga ilmu dan pengetahuan yang mereka dapatkan dapat terdistribusi langsung ke tengah komunitas mereka,” ujarnya lagi.
Selain itu, Rusli juga menerangkan, secara teknis kerja pengawasan pemilihan bisa dilakukan melalui media-media yang akrab dan digemari khalayak ramai, dalam bentuk media elektronik maupun media cetak termasuk media sosial.
Poin selanjutnya, adalah estafet penyelenggara pemilihan. Menurutnya, para lulusan dalam jangka panjang dilatih menjadi pemimpin di masa depan, baik di jajaran penyelenggara pemilu dan pengawasan, maupun di dalam komunitas struktur sosial masyarakat. Dengan jaringan lulusan atau kader yang sudah terbentuk, serta jaringan komunitas yang telah terbangun sebelumnya, akan menjadi modal sosial bagi para calon pemimpin. “Tinggal saat ini, terus mengasah dan menempa diri meningkatkan integritas dan kapasitas, hingga layak menjadi pemimpin dan layak menjadi tumpuan koordinator penyelesaian masalah sosial,” tutupnya. IEA/*