Tolak Huntara, Percepat Huntap

FOTO SKPHAM

PALU, MERCUSUAR Perwakilan warga yang berasal dari sembilan desa yang berasal dari Kabupaten Sigi dan Donggala serta kelurahan di Kota Palu, memutuskan menolak proses pembangunan hunian sementara (huntara), dan menekankan  untuk mempercepat pembangunan hunian tetap (huntap).

Keputusan tersebut  dituangkan dalam pertemuan diskusi warga dengan Ketua Pansus Pengawasan, Penyelenggaraan dan Penanggulangan Bencana (Pansus 3B), Yahdi Basma, Minggu (3/2/2019)  di rumah singgah SKPHAM, Kota Palu.

Yahdi mengatakan, warga yang berasal dari beberapa desa, di antaranya adalah yang terdampak cukup parah pascagempa 28 September 2018, Labuan Panimba, Labuan Toposo, Desa Potoya, Desa Langaleso, Karawana, Boneoge, Wani, Soulowe, Wani I dan Kelurahan Mpanau, menegaskan menolak huntara, menguatkan argumentasi untuk stop bangun huntara dengan percepat bangun huntap.

“Di aspek ini, lahan relokasi untuk huntap juga harus masukkan area atau lahan warga atau korban secara detail, tentu yang rumah status RB (rusak berat) dan atau hilang, di tanah atau lokasi hak milik warga atau korban, sepanjang bukan di area merah. Terkait ini, SK Gubernur No.369 tgl 28 Desember 2018, harus direvisi dengan terlebih dahulu menghimpun detail sasaran area relokasi huntap dimaksud. Hal tersebut disampaikan Yahdi mengutip satu dari tiga poin yang disepakati dalam pertemuan itu.

Selain menolak secara tegas pembangunan huntara, poin yang lain disepakati adalah, pemerintah harus segera menerbitkan Peraturan Kepala Daerah  terkait mekanisme partisipasi organisasi atau lembaga non pemerintah  dalam pemulihan dan penanggulangan bencana  di wilayah Palu, Donggala, Sigi, dan Parigi  (Padagimo).  

Sebab menurut warga, fakta-fakta dukungan organisasi atau yayasan, maupun lembaga pemerhati dalam menyalurkan bantuan logistik bisa menjadi bias, yang berbuah konflik sosial baru jika tak diatur operasi yang berlandas prinsip inklusi, adil dan akurat, atau yang berbasis data korban. Fakta ini juga menguatkan pasca kasus “makanan beracun” yang menimpa korban di Kelurahan Kabonena dan Kelurahan Tipo, Kota Palu dua pekan lalu. Dan kewenangan Pemda ini, ada di Perda Provinsi No.2 Tahun 2013  tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana di Sulawesi Tengah.

Lanjut Yahdi, diskusi tersebut, juga menyimpulkan pentingnya membentuk forum korban di semua wilayah terdampak, sebagai media perjuangan korban dalam pemenuhan hak-haknya. Terungkap bahwa sejumlah hak normatif korban sulit terpenuhi jika korban dalam posisi pasif, diam, dan tak terorganisir. Situasi ini dirasakan bakal berlangsung tahunan. NDA  

Pos terkait