PALU, MERCUSUAR – Setelah tiga dekade sejak peletakan batu pertama pada 20 Juli 1995, Vihara Karuna Dipa akhirnya diresmikan pada Minggu (16/11/2025). Peresmian berlangsung khidmat, ditandai dengan penandatanganan prasasti peresmian dan pengguntingan pita oleh Ketua Umum (Sanghanayaka) Dewan Pimpinan Sangha Theravada Indonesia (STI), Bhikkhu Sri Subhapanno, Mahāthera dan Wakil Gubernur Sulawesi Tengah (Sulteng), dr. Reny Lamadjido, didampingi Ketua Yayasan Karuna Dipa, Wijaya Chandra, para bhikkhu Sangha Theravada Indonesia, tokoh pemerintahan, lintas agama, serta disaksikan umat Buddha dari berbagai daerah.
Ketua Umum (Sanghanayaka) Dewan Pimpinan Sangha Theravada Indonesia (STI), Bhikkhu Sri Subhapanno, Mahāthera, dalam sambutannya menegaskan, peresmian ini memiliki makna historis dan spiritual yang mendalam.
“Peletakan batu pertama vihara ini dilakukan 30 tahun lalu oleh generasi pertama. Ini sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa sehingga generasi kedua yang meresmikan, yakni anak dari Hermanto Chandra, yakni Wijaya Chandra dan anak dari Gubernur Abdul Aziz Lamadjido, yakni dr. Reny Lamadjido,” ujarnya.
Bhante Subhapanno juga menyebut, setidaknya ada tiga keunggulan umat Buddha di Palu. Pertama, sebelum mendirikan vihara, mereka lebih dahulu membangun sekolah sebagai sarana pendidikan.
“Mendirikan institusi pendidikan bukan hal mudah. Tidak apa-apa peresmian vihara ini terlambat, tapi umat Buddha di Palu telah memiliki dasar yang kuat,” katanya.
Kedua, Vihara Karuna Dipa bukan hanya rumah ibadah, tetapi sekaligus pusat pendidikan lahiriyah dan batiniah, kegiatan sosial lintas iman, serta ruang puja bakti.
Ketiga, kehadiran vihara ini diharapkan memberi manfaat dan sumbangsih bagi negara, daerah, dan masyarakat luas.
“Mudah-mudahan umat Buddha Palu yang semakin dewasa dapat terus berkembang dan memberikan dedikasi terbaik bagi bangsa,” tutupnya.
Ketua Yayasan Karuna Dipa, Wijaya Chandra, dalam sambutannya mengingatkan sejarah panjang pembangunan vihara ini. Setelah peletakan batu pertama di lahan seluas 3.358 meter persegi pada 1995, pembangunan berjalan bertahap hingga kini vihara berdiri kokoh di atas lahan sekitar 1,4 hektar dengan arsitektur bercorak Souraja sebagai bentuk penghormatan terhadap budaya lokal. Ia juga menyampaikan harapan agar pemerintah membantu pengadaan penyuluh dan guru agama Buddha PNS yang masih sangat minim di Sulteng.
Gubernur Sulteng, dalam hal ini diwakili Wakil Gubernur, dr. Reny Lamadjido, memberikan sambutan yang turut menguatkan nilai historis acara ini.
“Hari ini adalah hari berbahagia, karena dulu ayah saya yang melakukan peletakan batu pertama, sekarang saya yang hadir meresmikan,” ungkapnya.
Atas nama Pemprov, ia menyampaikan apresiasi kepada seluruh pihak yang berkontribusi dalam pembangunan vihara.
“Umat Buddha di Sulteng walaupun jumlahnya kecil, tapi kompak dan lebih maju. Buktinya, berdiri sekolah dan vihara yang megah ini,” tegasnya.
Ia juga menekankan, Sulteng adalah wilayah majemuk yang hidup rukun dan damai, sejalan dengan falsafah lokal, Nosarara Nosabatutu – bersaudara dan bersatu.
“Kita semua harus merawat harmoni ini dan menjadikan perbedaan sebagai rahmat,” ujarnya.
Vihara Karuna Dipa kini menjadi pusat aktivitas keagamaan umat Buddha Theravada di Palu dan sekitarnya. Selain rumah ibadah, kawasan vihara juga dilengkapi candi, Dhammasala, taman Lumbini, serta fasilitas pendidikan di bawah naungan Yayasan Karuna Dipa, menjadikannya simbol penting moderasi beragama, pendidikan, dan keberagaman di Kota Palu. JEF







