Wacana Tolak Tanggul Mengemuka di Temu Relawan Walhi

TEMU RELAWAN - Copy

PALU, MERCUSUAR – Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulawesi Tengah (Sulteng) melaksanakan Temu Relawan Walhi 2019. Kegiatan ini dilaksanakan selama dua hari, yakni 26-27 April 2019, di salah satu kafe di Kota Palu.

Manajer Kampanye Walhi Sulteng, Stevandy mengatakan, pelaksanaan Temu Relawan ini, dalam rangka memperingati Hari Kesiapsiagaan bencana yang jatuh pada 26 April 2019. Kegiatan ini menghadirkan beberapa narasumber, serta menampilkan pekerja seni.

Pada hari pertama, para peserta diajak untuk berdiskusi soal peran relawan muda dalam penanganan bencana di Sulteng. Diskusi tersebut menghadirkan tiga narasumber, yakni Sofyan Eyang (Koordinator Disaster Walhi Eknas Tahun 2006), Andi Armansyah (Internasional Organization For Migration), Syamsul (Sulteng Bergerak) dan Ida (Soli Perempuan Palu).

Pada hari kedua, arah diskusi makin dikerucutkan pada problem penanganan bencana di Sulteng, di mana secara khusus, diskusi tersebut mengangkat tentang wacana pembangunan tanggul di Teluk Palu. Diskusi ini menghadirkan narasumber dari Pemerintah Provinsi Sulteng, yakni Staf Ahli Gubernur Sulteng, Nizam, mewakili Gubernur Sulteng, Direktur Walhi Sulteng, Abd Haris, serta pemerhati mangrove, Hamzah Tjakunu.

Hamsyah Tjakunu dalam paparannya menjelaskan, wacana pembangunan tanggul oleh pemerintah, terkesan dipaksakan dan menelan bulat-bulat konsep dari JICA. Bila diperiksa, wacana ini makin menenggelamkan paradigma berfikir kita, tentang penanganan bencana yang partisipatif.

“Pembangunan ini adalah wacana dari JICA (Japan Internasional Corporate Agency), yang membawa konsep ini berkaca dari proyek penahan tsunami di Jepang. Padahal bila diperiksa, justru proses ini telah jauh dari skema antisipasi bencana, sebab pesisir pantai kita ini terdapat patahan yang tidak membebaskan tanggul dari kerusakan juga,” jelasnya.

Menurutnya, kita perlu mengkaji lagi proses pembangunan tanggul tersebut. Sebab, tanggul ini tidak lepas dari masalah dan sudah pasti memiliki perspektif proyek, dibandingkan kemanusiaan.

Di samping itu, Direktur Walhi Sulteng, Abd Haris menjelaskan, kita perlu mengapresiasi Pemda dalam penanganan bencana selama ini. Namun sayangnya, beberapa program yang dicetuskan oleh Pemda, sangat minim partisipasi masyarakat, Tanggul Palu misalnya. Hal ini kata dia, merupakan penyakit Pemda sejak dulu.

Dia menambahkan, terkait wacana pembangunan tanggul ini, mengingatkan kita pada tahun 2012, ketika Walhi Sulteng lantang meneriakkan penolakan reklamasi di pesisir Teluk Palu (Talise dan sekitarnya). Sebab dalam Perda RTRW Kota Palu, terang dijelaskan, di pesisir pantai Teluk Palu ini adalah wilayah rawan bencana, serta perlu ada pengembalian fungsi pesisir.

“Kita ini seperti tidak berkaca dari pengalaman, padahal di Perda RTRW kota, terang dijelaskan bahwa wilayah ini adalah rawan bencana tsunami, tapi masih juga mau membangun beton,” ujarnya.

Haris menjelaskan, seharusnya ada upaya dari pemerintah daerah, untuk memperhatikan hal ini. Bahkan Walhi mendesak untuk dilakukan penegakan hukum terhadap pelanggaran terhadap RTRW kita, yang selama ini dilanggar.

Selain berdiskusi soal tanggul, ada beberapa wacana yang menggelora di tengah-tengah diskusi, yakni soal Mangrove-nisasi.

Menurut Hamzah Tjakunu, dari pada membangun beton, justru mangrove adalah jawaban konkret dari kegagapan kita dalam penanganan bencana. Selain menyimpan banyak manfaat, mangrove juga dapat dijadikan tanggul alami, sebab secara kesejarahan, Teluk Palu dulunya adalah habitat mangrove. Dari 33 jenis mangrove, ada 27 jenis yang dapat hidup di Teluk Palu.

“Jadi anggapan-anggapan yang menjelaskan mangrove tidak cocok di Teluk Palu, adalah anggapan yang sangat fatal,” terang Hamzah. JEF/*

Pos terkait