Wajah-Wajah yang Hilang, Suara Seniman yang Terkunci

Oleh: Jefrianto (Wartawan Mercusuar)

Sepuluh pigura berjejer rapi di teras belakang Kantor Gubernur Sulawesi Tengah. Sekilas, lukisan itu seperti coretan tak beraturan. Namun, semakin lama mata menatap, semakin jelas raut wajah yang muncul dari balik goresan cat. Ada wajah tanpa kepala, ada tubuh tanpa kaki, ada sosok tanpa bentuk utuh.

Lukisan-lukisan itu lahir dari tangan Endeng Mursalin, atau akrab disapa Aba. Bersama sahabatnya, Fathuddin Mujahid (Udin FM), ia menggelar pameran bertajuk Berani Bersuara: Sastra, Rupa, Bunyi. Dari Minggu (17/8/2025) hingga Rabu (20/8/2025), halaman belakang kantor gubernur yang biasanya steril dari karya seni, disulap menjadi ruang ekspresi seniman.

Bagi Aba, setiap goresan cat adalah cara merekam kembali luka lama: gempa, tsunami, dan likuifaksi yang meluluhlantakkan Palu pada 28 September 2018. Ia ingin mengingatkan, di tengah euforia perayaan HUT ke-80 Kemerdekaan RI, ada peristiwa besar yang tidak boleh terlupakan.

“Wajah-wajah itu masih terekam. Ada yang hilang ditelan bumi tanpa batu nisan, ada yang ditemukan tinggal badannya, kepalanya, kakinya, tangannya. Mukanya sudah tidak lagi utuh,” tutur Aba dengan suara bergetar.

Tak heran jika Gubernur Sulteng, Anwar Hafid, sempat menyebut karya Aba sebagai lukisan mistik. Aba tak menampik, tetapi ia memberi penjelasan: “Pak gubernur tidak salah, dia hanya tidak bertanya untuk dijelaskan.”

Namun pameran ini bukan hanya tentang bencana. Lebih jauh, ia juga menyuarakan keresahan lain: seniman Sulteng kehilangan ruang berekspresi. Sejak Taman Budaya Sulawesi Tengah hancur diterjang tsunami 2018, tak ada lagi rumah bagi seniman untuk berkarya. Hampir tujuh tahun berlalu, janji revitalisasi belum juga terdengar jelas.

“Lewat pameran ini, kami ingin mengetuk pintu-pintu pemerintah, juga pintu hati mereka. Apa sebenarnya yang membuat Taman Budaya ini tidak bisa direvitalisasi? Sampai sekarang tidak ada penjelasan kepada para seniman,” keluh Aba.

Dan karena tak ada ruang, para seniman akhirnya mencari cara. Kali ini, kantor gubernur—yang biasanya jadi simbol kekuasaan—akhirnya dipinjam untuk jadi ruang alternatif. Dari sini, suara seniman Sulawesi Tengah kembali menggema: suara tentang kehilangan, tentang ingatan, dan tentang hak untuk berekspresi.

Pos terkait